Friday, February 25, 2005

Sampai Di Suatu Hari

Bila suatu hari kita bertemu kembali,
aku ingin marah, teriak, menamparmu,
meluapkan kekesalanku tapi bukan kebencian.

Bila suatu hari kita bertemu kembali,
aku hanya ingin bilang, kamu jahat!
kamu pergi tanpa penjelasan!
kamu pengecut!

Sampai di suatu hari itu,
aku ingin semuanya tiada,
perasaan cinta dan amarah,
aku ingin semua datar,
tanpa emosi sama sekali.

Sampai di suatu hari itu,
aku hanya ingin bilang,
tak pernah menyesal mencintaimu,
yang pernah membuatku marah dan murka,

Sampai bertemu di suatu hari itu, kawan
yang jelas bukan hari ini.

Cappucino

Segelas Cappucino panas dan alunan Jazz 99,9 fm
tengah malam di depan komputer,
menulis tentang hidup, atau sekedar browsing,
hmmm... remind me of someone.

Apa kabar?

Senyuman Pertamaku

Terima kasih telah memberiku senyum malam ini,
bakal mimpi indah sepertinya,
ga sabar bertemu denganmu.

kita ini apa ya?
katamu aku beda,
kataku kamu memang beda,
beda itu yang menjadi kita sebagai kita
sepertinya.... tak yakin..

tidak akan memaksa mencari jawaban,
tidak akan mencoba mentrasform-nya dalam bentuk lain,
aku suka "kita",
biarkan begitu saja

Terima kasih telah memberiku alasan tersenyum,
bermimpi indah, yang bukan "kita"
ah, hampir lupa rasanya kapan terakhir tersenyum,
terima kasih...

Wednesday, February 23, 2005

I'm Moving On

Jadi kepengen cerita soal perasaan gue saat ini,
yang sahabat2 terdekat gue tau sama siapa.
jadi lucu karena setiap postingan gue dipikirnya 3/4 terkait sama dia dan dia...

guys... I'm moving on.
ga perlu deklarasi seh, tapi kesel krn selalu dikaitin sama dia,
iihh lo banget deh nit, baca blogspotnya sepatumerah ya.. hihihi..
some ada yang mirip memang, tapi banyakan ga weee...

makasih ya udah encourage gue buat bikin sesuatu yang baru,
menulis misalnya (thanks to mas dono dan citra)tungguin selalu postingan gue dan novel pertama gue ya,
membagi tisu (thanks to tami)
ngajak dugem (thanks to mekka)
ngajak ngaji (thanks to dewi)
and thanks to -E- who make me feel like I'm someone
love you so guys....muachhh muachhh....

persis ucapan terima kasih di skripsi yang lo kerjain paling duluan daripada isinya kan hehehe..
Kata orang phobia itu harus dihadapin biar bisa diilangin,
haha, tau ga kalau phobia gue adalah Jatuh cinta
sekarang bertambah jadi JATUH CINTA PADA ORANG PADANG!! :P
tapi seperti pernah gue bilang sama kalian,
Cinta sama dengan Cabe,
enak banget, walaupun bikin lo mencret tapi ga akan kapok makannya,
so I'll show NO FEAR to Love or Padangnese...

tanpa maksud ber-stereotipe ya.. ini cuma pengalaman pribadi aja.

maaf untuk yang merasa tersinggung atas postingan ini,
thanks to you too for giving me so much dalam waktu yang singkat,
kalau semua cuma kebetulan, beneran sebuah kebetulan yang indah.

forget prince charming, Cinderella has already got
him!

BENER BANGET!!!! hihihi... thanks to you all..

Lintang Prana Bumi

dug dug nek nek nek (harusnya ini bunyi musik yang diputar dj ya)

kali ini kubiarkan musik itu membius tubuhku di atas kursi,
bergoyang, komat kamit ngikutin lirik lagu,
mau benar mau salah, cuma reffrain atau ujungnya doang,
terserah, yang penting musik itu mampu mengoyang tubuhku,
yang belakangan kaku, terpaku isi otak yang ga jelas itu.

Lintang Prana Bumi,
duduk di meja depan, tersenyum paling manis yang pernah dia punya,
mengejekkah?, menggodakah?,
bohong kalau dia tak buatku melirik dua kali.

kalau musik ku biarkan berkuasa atas tubuh dan mulut ini,
masa Lintang tak kuberi kesempatan melakukan hal sama?
kubiarkan tangan Lintang menuntunku turun,
kaku...tapi Lintang penuh permakluman,
Lintang menuntunku bergoyang,
mulai melingkarkan tangannya dipinggangku,
kubiarkan dia mengalirkan hasrat yang sempat mati.

jauh kini kudengar musik itu,
yang kutangkap hanya suara Lintang,
lembut, membius.

sayang, hpku bergetar, membangunkanku dari mimpi,
saatnya pulang, kembali pada nyata,
maaf Lintang,
cinta tak sempat mampir malam ini.....

***Pasir Putih, 19 Februari 2005

Tuesday, February 22, 2005

Penggaris

Kalau hidup lurus seperti penggaris 50cm
kau sekolah hingga cm 22, mendekati cm 30 sibuk mencari jodoh,
mendekati cm 45 mulai sakit-sakitan, dan dipenghujung cm 50,
kau mati...

Lurus tanpa hambatan, tanpa gejolak,
hidup mengaturmu atau kau atur hidup?
waktu menentukanmu atau kau tentukan waktu?

Kenapa tak kau biarkan sakit menguatkanmu,
derita mendewasakanmu, cinta membahagiakanmu,
jatuh melukaimu,

Kenapa kau coba menyangkal perasaanmu,
ketika semua terlalu kuat untuk kau tahan,
Kenapa mesti berpura-pura,
ketika hal nyata di depan mata.

Andai hidup bagai penggaris 50cm,
maka tak ada beda dengan air pada ikan,
atau angkasa pada burung...

hidup hanya untuk hidup,
lalu mati...

Monday, February 21, 2005

'Senja dibalik jendela'

...Hidup mempertemukan kita dengan seseorang, lantas memisahkannya lagi.
Tidak selalu kita bisa berpisah dengan lambaian tangan.
Tidak selalu kita bisa berdiri di tepi dermaga,
melambaikan tangan kepada seseorang diatas kapal yang juga melambaikan tangan kepada kita sambil berseru, "Jangan lupakan aku!"
Tidak selalu.
Kadang-kadang kita bertemu begitu saja dengan seseorang yang tidak pernah kita kenal,
menjadi lengket seperti ketan, lantas mendadak berpisah begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.

Sebagian dari 'Senja dibalik jendela' ~ Seno Gumira Ajidarma



(sumbangan Rana... maacih yaa..)

Saturday, February 19, 2005

Wartawan? Penyiar? Who am I?

Liat Mutia dan Budiyanto ditodong senjata, inilah yang gue rasa :

Gue bukan siapa-siapa ternyata,
profesi wartawan atau jurnalis atau apalah namanya ternyata ga guna selama ini
Gue bukan wartawan karena tak pernah merasa ada lama di lapangan,
Gue ga pernah nemu bahaya bahkan debu pun tidak,
cuma kena bau rokok temen sekantor dan bukan asap knalpot.

GUe cuma wartawan paling bersih, paling seger karena selalu ditimpa AC
Gue bukan wartawan, karena berita gue cuma berisi transkrip.

Gue cuma penyiar,kebetulan menyiarkan berita
tapi bukan mengumpulkannya apalagi mengejarnya.
Gue minder.. sumpah...

ada yang tau apa kerja wartawan sebenarnya?
haruskah seperti mutia dan budiyanto yang sekarang bergelut nasib
dihadang senapan demi arti sebuah berita atau ambisi om bewok semata?
biarkan om bewok dengan ambisinya dan dosanya
tapi MUtia dan Budiyanto, kalian betul betul membuat gue iri,
untuk menikmati arti dunia wartawan, dunia berita yang sebenarnya.

kapan bisa punya kesempatan kayak kalian ya
atau gue terlalu cemen untuk seperti kalian...
be brave my friends.

Kissing You

Kissing You

by Des'ree

Pride can stand
A thousand Trials
The Strong will never fall
But watching Stars without You
My Soul cried
Grieving heart is full of Pain
of, of The Aching

'Cause I'm Kissing You, oh
I'm Kissing You, Love

Touch Me Deep
Pure and True
Gift to Me Forever

'Cause I'm Kissing You, oh
I'm Kissing You, Love

Where are You now?
Where are You now?
'Cause I'm Kissing You
I'm Kissing You

Kenangan

Otak ini penuh dengan hal yang ga perlu dikenang,
cuma menuh-menuhin memory,
perlu di upgrade, but how?

Seno Gumira bertanya : terbuat dari apakah kenangan itu?
dia datang separuh-separuh, separuh senyum, separuh muka,
tapi penuh saat menusuk hati.

saat penuh canda tawa sekeliling,
tetap terasa sepi, di sini letaknya pedih itu,
pegang dadamu, disanakah hatimu berada,
disanakah kenanganmu bersemayam.

berusaha mewujudkannya dalam nyata,
mencarimu di setiap muka, didalam gedung,
diantara suara yang terjaring telinga,
tak ada....
kamu dimana?

dalam kenangan yang terbuat dari bayangan separuh,
separuh senyummu, separuh wajahmu, segaring tawamu
hampa...
kamu dimana?

UMI

Namanya Umi,
dia memilih duduk disebelahku sementara masih ada belasan bangku kosong dalam bis
"mba, ini ke Ciputat kan?"
"Ga, ini ke pondok pinang. tapi kalau mau ke ciputat tinggal pindah angkot aja."

Umi, datang dari Palembang dengan modal nekat untuk cari kerja.
Umi, Jakarta tak pernah ramah sama pendatang.
Belantara baja di jantung Jakarta sana bukan tempat mudah ditaklukan.

Jangan pernah bicara sama orang asing,
nanti dia akan tiba-tiba menghipnotis dan merampas hartamu.

Maaf Umi, saya jutekin kamu,
saya tak kenal kamu sama kamu tak kenal saya.
saya bisa saja orang jahat, saya bisa saja menipumu, menjebakmu
atau bahkan membunuhmu.

tapi kamu pilih duduk dibangku sebelah sementara yang lain kosong.
tapi kamu tetap bicara, dengan raut muka tenang,
tanpa panik untuk orang baru di belantara jakarta.

"kamu turun bareng saya, nanti saya antar naik angkot yang ke Ciputat."
"terima kasih, saya Umi. Nama mba siapa?."
"...hati-hati ya...setan di Jakarta tak takut pada jilbab dan ayat kursi."

Umi berlalu dibawa angkot yang menghilang diremang Jakarta.

Friday, February 18, 2005

Kangen

Yang pergi tak akan kembali,
Yang datang jangan dihalang,

Tapi hilang tetap terasa,
sakit tetap ada.

kangennnnnnnnnnnn!!!!!!!!!
keabisan kata-kata indah ungkapan rasa nih :(

Cinta 2 B

To Bea

Makhluk hidup dalam lindungan rahim seorang perempuan adalah berkah, suci, mulia
yang tumbuh dari cinta, kasih perempuan dan kamu.
Dia bernafas, bergerak tak sabar bertemu muka dengan perempuan dan kamu.
Mengetuk dinding perempuan, menuntut belaimu.

Bea,
Menghadirkan satu hidup diantara kalian bukan jawaban atas cinta
Menghadirkan satu nafas diantara kalian bukan pelarian dari keputusasaan
Dia tidak bertanggungjawab atas masalah kalian

Bea,
Hidup ada pilihan,
Tapi tak selintaspun terbesit jalan ini yang kau ambil

Bea,
Bilang ini bukan sebuah kesalahan,
Bilang ini adalah sebuah pilihan,
Meski salah, cinta tak pernah bodoh.

Bea,
Berikutnya jangan pernah lupa untuk mandi ya,
karena si mungil ingin liat kamu tampan,
setampan yang dibayangkan saat berlindung didalam perut bunda.

Pilihan sudah diambil, tak mungkin waktu mundur untuk menyesali yang terjadi.
Maju Bea, jangan tengok yang ada dibelakang mu.
yang selalu ada aku....

Thursday, February 17, 2005

Catatan Malam

Cuma ada kucing kayu bertengger di komputer yang bukan milikku
Tapi memang tak satupun yang ada dihadapanku, didepan dan dibelakang bahkan yang melekat pada ku adalah milikku.
Semua cuma lewat sesaat untuk kemudian menghilang,
Bisa kau tahan perginya?

Bagaimana kalau semua ini cuma persinggahan sementara,
Hatimu, hidupmu dan isi kepalamu
Kadang lebih baik menjalani sebuah ketiadaan daripada menahannya untuk ada.

Cuma sebuah catatan yang bukan berarti apa-apa,
Di sebuah malam yang sebentar lagi berganti terang,
menakutkan karena itu berarti sebuah kehidupan rutin kembali mendatangimu,
sama, disetiap jam, menit dan detik.

kadang yang kuingin dia berhenti berputar
kadang aku ingin dia diam ditempat,
tetap bersamaku dalam gelap,
merenung malam sebelum menjadi terang,
jangan pergi karena ku tau kau tak akan kembali,
esok malam kau tiada lagi,
tetap diam merenung malam.

Cinta dan Aksara

Bila cinta tak beraksara
Ku hanya harap kau merasa

Broken Friendship

Broken Friendship
by Kirkland Rowlett

We were good friends for awhile
I enjoyed every moment
I loved being around you
I wish I could've shown it
But I made a few mistakes
That really made you mad
You decided to stop talking to me
I felt like I lost all that I had
Now our friendship is over
And I must move on my way
The Lord will bring me another good friend
To show me that everything will be okay
He will bring me someone who will forgive me
When I seem to make a mistake
He will bring me someone who will be there
Even when my life is at stake
So I must move on in life
That's the only thing I can do
For I know that someone will come
That will remind me of you
I'm sorry for what I did
I'm sorry for making you mad
I wanted the best for you and I
And wanted you to be glad
I thought you would understand and trust me
Or at least listen to what I had to say
Instead of ignoring me
And running the other way
I thought you would understand and forgive me
Because that's what friends are for
I thought you were that kind of friend
But now I don't know what to think anymore

Siang di Kampung Duri

Siang di Kampung Duri-Kompas, 23/09/2003


Saya, Andika, Wulan, dan Mirna, pada sebuah siang di awal bulan September, pergi menuju Kampung Duri yang terletak di wilayah Jakarta Barat.

Andika dan Wulan, adalah dua relawan dari Kios Informasi Kesehatan (sering cuma disebut Kios saja) yang mengadakan pelayanan berupa penjangkauan dan pendampingan untuk para pencandu narkoba maupun mereka yang telah terinveksi virus HIV Aids.

Adapun Mirna...hmmm, saya suka menyebutnya dengan "si Lucu". Dia lah salah seorang sahabat saya, yang siang itu "meracuni" saya dengan wacana baru yang menyakitkan sekaligus menyedihkan. Sebuah wacana tentang sisi lain dari kehidupan ibukota.

Oleh sebab Mirna itulah, saya jadi mengenal Andika dan Wulan yang dulu pencandu tapi sekarang menjadi relawan untuk melayani para junkie agar hidup lebih sehat.

Sambil menembus jalanan kota Jakarta yang macet dengan berkendara mobil, saya terus bertanya kepada Andika, kapan saatnya jalan lurus, kapan saatnya berbelok, jika menemui perempatan jalan.

Tapi siang itu, Andika benar-benar menjadi seorang navigator yang payah. Karenanya, saya harus menerima kekesalan pengendara lain di belakang kami yang jalannya saya serobot lantaran Andika secara mendadak menyuruh saya agar berbelok kiri.

Mendadak saya ingat perkataan teman saya, Simon, seorang fotografer di sebuah tabloid. Katanya, nyali seorang pendatang seperti saya baru teruji jika sudah berkendara di jalanan kota Jakarta yang sumpek dan semrawut.

Saya tahu, pendapatnya itu ngawur. Tapi jujur saya katakan, ada rasa plong ketika saya berhasil melewati sengkarut kendaraan di perempatan itu, meski sesudahnya berpuluh-puluh kali saya mendengan suara klakson yang memekakkan telinga.

Diiin! Diiin! Treeeet...!

Lepas dari jalan lebar yang mampu menampung empat mobil, selanjutnya kami masuk ke sebuah jalan sempit yang mengharuskan pengendara mobil berhati-hati jika berpapasan dengan mobil lain agar tak saling berserempetan.

Memasuki jalan sempit yang diapit oleh selokan dengan airnya yang aneka warna oleh limbah kimia, saya mulai merasakan gambaran hitam dari kota Jakarta.

Di sini, di jalan menuju Kampung Duri, wajah Jakarta benar-benar kusam. Selain air got yang berwarna-warni dengan aroma yang tak sedap, rumah-rumah di Kampung Duri pun berhimpitan tanpa ventilasi yang sempurna.

Udara di penghujung musim kemarau tahun ini pun kian menekan perasaan dengan sengatannya yang terrasa membakar kulit.

Setelah memarkir mobil, Wulan kemudian gantian jadi komandan. Ia memimpin kami memasuki gang senggol menuju rumah Jono, salah seorang dampingan Wulan yang telah terjangkit virus HIV Aids.

Kami terus berendeng memasuki gang tanpa sinar matahari. Sebuah gang dengan rumah-rumah yang saling berhimpitan yang menghalangi sinar surya mengelus lembut kulit penghuni gang tersebut.

Saya membatin. Siapakah mereka yang mukim di gang pengap ini? Dari mana mereka berasal. Apa cita-cita mereka ketika masih kecil, sehingga mereka nyangkut di tempat serupa ini?

Pertanyaan-pertanyaan saya itu mendadak buyar oleh jerit tangis anak kecil yang menyeruak dari sebuah rumah. Lalu berturut-turut, pemandangan asing pun saya jumpai.

Setelah melewati dua tikungan, kami berjalan lurus, sebelum akhirnya kami sampai di jalan buntu, tempat Jono (bukan nama sebenarnya) dan ibunya yang telah tua, mukim.

Ketika kami berjumpa dengan Jono di ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur, serombongan anak muda dengan mulut-mulut yang kacau bunyinya, mendadak muncul entah dari mana.

Tapi rupanya mereka segera mafhum dengan kedatangan kami. Maklumlah, karena bersama kami ada Wulan dan Andika yang rupanya telah mereka kenal.

Wulan, si mantan pencandu putaw yang pernah melewati hidup nan amburadul tiga tahun lalu, di mata saya siang itu berubah menjadi seorang peri yang baik hati. Secara sabar ia meminta kepada Jono untuk menghabiskan obat yang diberikan dokter untuk setidaknya memperpanjang umurnya.

Diberikannya kepada Jono, zortrim (toxo, untuk mencegah penyebaran virus di otak dan mencegah jamur di paru karena Jono punya pneumonia)dan vitamin B yang berguna untuk menambah nafsu makan.

"Ini vitamin B, diminum tiga kali sehari. Ini zortrim, diminum dua kali sehari," kata Wulan lembut kepada Jono. Ibunda Jono yang juga sedang sakit, cuma memandang haru ke arah Wulan.
Setelah Wulan merayu Jono untuk meminum habis obat-obatan itu, perempuan tua itu pun turut bicara, "Kamu beruntung, masih ada Mbak ini yang perhatian sama kamu. Dengerin itu, dihabisin obatnya biar cepet sembuh."

Di luar dugaan saya, Jono menyahuti perkataan bundanya. "Ah, kalau saya sih tinggal mesenin kain kafan saja."

Saya yang sebelumnya sudah tahu dari Wulan tentang penyakit yang diderita Jono, tak kaget dengan pernyataan Jono. Sementara ibundanya, ia pun menanggapi biasa-biasa saja. Oleh kepahitan hidup yang menelikungnya barangkali, telah membuat perempuan tua itu kebal terhadap kengerian sebuah kematian.

Jono memang positif terkena Aids. Pada pemeriksaan terakhir, CD4 (jumlah sel darah putih dalam darah) Jono memang amat rendah, yakni di bawah 50. Seharusnya Jono sudah menggunakan pengobatan ARV (Anti Retro Viral), obat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Namun karena mahalnya obat yang harganya berkisar Rp500-750 ribu, maka
Jono yang tak sanggup membeli obat itu pun menjadi putus asa.

Padahal, menurut Wulan, Jono amat membutuhkan CD4 itu. "Jika tidak mengkonsumsi obat tersebut, akan makin memperburuk kondisi Jono. Akan muncul inveksi oportunistik dan membuat kondisi parunya semakin jelek," ujar Wulan setelah pamit dari rumah Jono.

Dalam perjalanan pulang Wulan sempat cerita, betapa Jono sempat sedih ketika tahu CD4 di tubuhnya rendah. "Dia kira akan segera mati. Padahal, apabila dia mampu beli obat itu, obat tersebut akan membantu kekebalan tubuhnya dan memperpanjang hidupnya," ucap Wulan.


Setelah mengantar Andika ke Kios, saya, Wulan dan Mirna melanjutkan perjalanan mengarungi Jakarta. Kami sempat singgah ke kedai es krim Ragusa di Jalan Veteran. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Galeri Nasional untuk melihat pameran seni rupa tingkat internasional, sebelum akhirnya kami terdampar di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan, hingga larut malam.
Pada tiap persinggahan itu, di Ragusa memang ada banana split, di Galeri Nasional memang ada karya-karya adiluhung, di Wapres ada ayam bakar yang dagingnya amat lembut, di sebelah saya ada Mirna yang manis, tapi tetap saja bayangan wajah Jono dan ibundanya yang terus melintas di depan mata saya.

Ah, entah kepahitan hidup macam apa lagi yang bakal singgah di hati ibunda Jono. Bayangkanlah, kini Jono sakit parah. Sementara adik Jono--karena kasus narkoba--kini sedang mendekam di penjara. Akankah Ibu Jono yang kena stroke itu merana sendiri, sabab setelah suaminya tiada, ajal tak lama lagi juga bakal menjemput Jono.

Sementara Jono..., saya melihat bayang-bayang kematian bersemayam di matanya. Tak ada lagi di sana nyala api kehidupan. Jika membayangkan bunyi batuknya yang keluar dari paru-paru yang cuma dibalut kulit dan tulang, ulu hati saya turut nyeri dibuatnya.

Uhuk! Uhuk!

Ketika saya tinggal sendiri di mobil dalam perjalanan menuju rumah, bayangan Jono terus mengikuti saya. Tapi ia tak sendiri. Di belakangnya ada berpuluh, beratus, beribu, bahkan berjuta-juta wajah serupa Jono. Wajah-wajah usia belasan yang pucat tanpa pengharapan. Mereka muncul dari berbagai sudut kota Jakarta. Sebagian muncul dari Kampung Duri, sebagian dari Kampung Bali, sebagian dari Jakarta Utara, dan sebagian lainnya muncul dari kampus-kampus.

Uhuk! Uhuk!
Kembali saya terkenang batuk Jono yang bikin nyeri ulu hati saya. Senyeri saya kah kini para orang tua yang memiliki anak macam Jono? Saya mendadak ingat seorang teman yang memiliki adik yang pecandu putaw macam Jono. Katanya, ia lebih baik memiliki saudara yang melakukan kejahatan lantas dihukum mati, daripada memiliki saudara yang pecandu narkoba. Setelah dihukum mati, habis perkara. Tapi kalau pecandu, sebelum mati mereka adalah kriminal yang memalukan keluarga. "Ketika sakaw (ketagihan putaw), mereka bisa berbuat apa saja, termasuk nyopet dan menguras barang di rumah mereka sendiri," kata teman saya.

Uhuk! Uhuk!
Saya segera tersadar. Kiranya suara batuk itu datang dari paru-paru saya sendiri, yang sesak oleh asap rokok dan udara dini hari. Uhuk!

jodhi yudono kompas, 23/09/2003

The Law of Karma

The Law of Karma
In Buddhist teaching, the law of karma, says only this: `for every event that occurs, there will follow another event whose existence was caused by the first, and this second event will be pleasant or unpleasant according as its cause was skillful or unskillful.' A skillful event is one that is not accompanied by craving, resistance or delusions; an unskillful event is one that is accompanied by any one of those things. (Events are not skillful in themselves, but are so called only in virtue of the mental events that occur with them.)

Therefore, the law of Karma teaches that responsibility for unskillful actions is born by the person who commits them.

Let's take an example of a sequence of events. An unpleasant sensation occurs. A thought arises that the source of the unpleasantness was a person. (This thought is a delusion; any decisions based upon it will therefore be unskillful.) A thought arises that some past sensations of unpleasantness issued from this same person. (This thought is a further delusion.) This is followed by a willful decision to speak words that will produce an unpleasant sensation in that which is perceived as a person. (This decision is an act of hostility. Of all the events described so far, only this is called a karma.) Words are carefully chosen in the hopes that when heard they will cause pain. The words are pronounced aloud. (This is the execution of the decision to be hostile. It may also be classed as a kind of karma, although technically it is an after-karma.) There is a visual sensation of a furrowed brow and downturned mouth. The thought arises that the other person's face is frowning. The thought arises that the other person's feelings were hurt. There is a fleeting joyful feeling of success in knowing that one has scored a damaging verbal blow. Eventually (perhaps much later) there is an unpleasant sensation of regret, perhaps taking the form of a sensation of fear that the perceived enemy may retaliate, or perhaps taking the form of remorse on having acted impetuously, like an immature child, and hping that no one will remember this childish action. (This regret or fear is the unpleasant ripening of the karma, the unskillful decision to inflict pain through words.)

If there are no persons at all, then there is no self and no other. There is no distinction between pain of which there is direct sensual awareness (which is conventionally called one's own pain) and pain that is known through inference (conventionally called another person's pain). Whether pain is known directly or indirectly, there is either an urge to quell it or an urge to cultivate it. Whether joy is known directly or indirectly, there is either an urge to nourish it or to quell it. In the conventional language of speaking of events personally, the urge to quell all pain and to nourish all joy is known as being ethical or skillful or (if you like) good. The urge to nourish pain and quell joy is known as being unskillful, unethical or bad.

Being fully ethical is said to be impossible for those who make a distinction between self and other and show preference for the perceived self over the perceived other, for such perceptions inhibit being fully responsive. Being fully ethical is possible only for those who realize that all persons are empty, that is, devoid of personhood.