Monday, July 18, 2011

Saatnya Terbang

Selamanya jadi burung yang bahkan tak akan mati di sangkar yang sama seumur hidup. Dia akan terbang bermigrasi sesuai musim yang tak lagi terbaca. Sial memang. Ada saat butuh adaptasi dengan iklim ada hal yang hanya mengikuti kodratnya, burung, terbang, melayang, hinggap dan terbang lagi.

Saya burung. Sudah pernah menemukan rumah selama bertahun-tahun, menjadi apa yang saya cinta hari ini. Tapi ketika dorongan sayap ya untuk terbang, maka izinkan saya terbang. Mencari sarang yang baru, mencari cinta yang baru, mungkin mencari saya yang baru. Saya labil, iya. Saya cuma mengikuti kata hati.

Saatnya terbang Nita. Menjadi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Memulai segalanya dari awal, apakah nanti jadi lebih elang atau cuma burung gereja mungil biar saja. Hidup adalah soal bertanya, mencari jawaban yang belum tentu mengenakkan dalam hal ini, dengan terbang.

Izinkan saya terbang mencari sangkar baru.

Wednesday, July 13, 2011

Cerita Mangga

Masih ingat cerita kita tentang kembang pohon mangga yang setiap batangnya kita sudah “tek” bahwa yang itu punya aku dan di sebelah sana punyamu?

Mangganya sudah tiga kali berkembang dan aneh, bagianmu tak pernah sempat jadi mangga. Dia mati.

Batang pohon yang dengan jahatnya pernah kita ukir nama berdua itu masih ada, rusak sudutnya karena getah mangga. Dia protes keras, kalau bisa ditelannya nama kita berdua dengan getah itu. Sementara dua bangku malas yang tempat kita pernah menyuarakan hati dalam diam, sudah raib dicuri pemulung.

Iya yang tersisa sekarang adalah kembang mangga di bagian aku yang kalau pun dia jadi buah, selalu keduluan codot memakannya. Sementara kembang milikmu tidak pernah jadi mangga.

Selain karena daunnya yang tetap rindang dan kenangan sore kita sambil makan rendang, rasanya pohon mangga ini ingin sekali kutebang. Pun kalau kutebang, tak ada kemenangan untuk dirayakan. Kenangan bukan hal yang bisa disembunyikan dan panas mentari tak akan lagi bisa kutangkis.



(untuk pohon mangga sebelah jendela kantor yang buahnya selalu meliurkan tanpa pernah kucecap, keduluan pak amat melulu hadeuh)

Tuesday, July 12, 2011

when was the last time?

kiss someone?

21 maret 2011, hari terakhir bersama oddyseus. dia ga mau diantar ke bandara esok harinya karena saying goodbye would be the hardest thing to do.

being held by someone?
20 maret 2011, our last nite. i cried in silent.

being in love?
well that would be with Z. July last year.

and tonite. i celebrate my success alone with tea and honey. so pathetic. just when u think you can be on your own, you just missing someone so bad. to be hold, to be kiss or just to share my hot tea.

Cheers

Thursday, July 07, 2011

Kedai Buku Waktu part 4

The Tea Man

“Kalau tehnya panas begini, bagaimana minumnya?” kata dia
“Kalau mencret ya harus minum teh pahit yang panas ini,” kataku
Bukannya diminum dia malah balik ke ranjang dan menarik selimut menutup mukanya, “kamu saja yang minum.”

Tahu tea addict? Lagilagi bukan iklan, aku tidak dibayar untuk menceritakan tempat ini. Kafe yang hanya menyajikan aneka rupa teh dari seluruh dunia ini pernah menjadi tempat romantis bagi kami.

Tinggal dua minggu sebelum dia kembali ke Belanda untuk menyelesaikan kuliahnya. Akhir pekan itu kami habiskan keliling Cirebon lalu Bandung dengan modal Lonely Planet Indonesia yang tebalnya minta ampun. Setiap menit adalah berharga karena kami sadar tak banyak waktu tersisa untuk berdua.

“Jangan tidur, karena besok mungkin kita tak lagi bersama” dia selalu bilang begitu meski akhirnya salah satu kita terlelap didekapan.

Kami terlelap di stasiun kereta api, kami terlelap di terminal bus. Bukan hotel mewah karena tak diniatkan untuk tidur apalagi bercinta. Dia terus bercerita tentang dirinya, mimpinya meraih hadiah nobel untuk ilmu fisika yang digelutinya, tentang keinginannya belajar tentang Islam dan Indonesia lebih banyak, tentang cintanya padaku.

Saban kali aku terbangun, dia menatapku lembut, “aku suka melihatmu tertidur,” lalu kecupan lembut mendarat di kening dan kembali aku didekapnya.

Aku hapal betul bau badannya, rasa bibirnya, tatapan matanya, senyumnya, ikal rambut yang menyesatkan jemari, genggaman tangan hangat yang tak pernah lepas, detak jantungnya, suaranya saat bicara, tertawa bahkan marah. Kenangan tentangnya tak pernah hadir separuh, dia utuh dan selalu mampu merontokkan bendungan air mata kerinduanku.

MP3 player dengan separuh suara mengalun di telinga kiriku dan separuh lain di telinga kanannya, aku terlelap di bahunya ketika dia berbisik, “dimana bisa minum teh enak?” voila… yang terlintas cuma tea addict Senopati. Disanalah percakapan tentang citacita dan cinta dilanjutkan sampai malam larut.

“Perutku panas kemarin, diberi sesuatu oleh ibu di kedai,” katanya sambil mengelus perut tipisnya.
“Aha itu balsem namanya sayang, the heat cream. Hayo sekarang pilih pake krim panas lagi atau minum teh.”

Dia tengkurap dan membenamkan muka di bantal.

Sekarang aku menikmati teh panas ini sendirian tanpamu dan selalu ingin tidur cepat, cuma dalam mimpi aku bisa bersamamu lagi. Saban kali terbangun berharap dirimu menatapku dengan lembut, “aku suka melihatmu tertidur.”
**

“Kalau waktuku habis di meja operasi, aku cuma ingin kamu tahu bahwa cinta itu kamu.” Sms terkirim
“Bodoh. Ga usah pikir hal lain. Kamu harus sembuh dulu. Kabari aku begitu kamu sadar yah.” Sms kuterima.

Tiga tahun lalu. Sejak dia tahu aku selamat dari operasi itu, dia tak lagi mengontakku. Apa cintaku begitu menakutkan baginya? Dia menghilang meski masih kutemui wajahnya di Facebook. Dia tidak menghilangkanku dari daftar temannya. Syal yang pernah kuberikan dulu masih terlihat menggantung di lehernya. Tentu aku melihatnya dari waktu yang terhenti di sebuah foto, di Facebook. Aku tahu badannya membesar, kekasih barunya bahkan foto keluarganya yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Kalau kutahu kamu akan berhenti menghubungiku mungkin harusnya waktu itu dicabut dariku tiga tahun lalu.

Aku membuka mataku dan melihatnya disana, “aku suka melihatmu tertidur”
Kurasa aku bermimpi. “Hey ini aku. Bangun Mbar, jangan tidur karena mungkin waktu kita tak banyak.”

Aku sungguh bermimpi. “Kalau kamu tahu waktu kita tak banyak, kenapa datang lagi. Sekali kamu datang yang kuinginkan adalah kita untuk selamanya.”

“Hey Man. Bangun dung. Masa gue udah jauh-jauh kemari malah lu tinggal tidur. Gue janji kalau lu sehat, kita jalan-jalan lagi. Gue ajarin lu diving tsaah, kita ke Derawan atau ke Raja Ampat seperti yang lu selalu pingin.”

Ah aku tahu si choco man ada disini. Dia selalu bisa membuatku tersenyum

Ini semua pasti mimpi. Aku selalu ingin bila waktuku tiba, mereka ada disini. Orang-orang yang kenangannya denganku tersimpan rapi di Kedai Buku Waktu. Kalau sampai mereka semua ada disini sekarang, saat ini, apa berarti waktuku hampir habis?
Dan aku bahagia.
****

Kedai Buku Waktu part 3

The Choco Man

Lupa kapan terakhir minum kopi tanpa tersiksa lambung dan dia dengan bangga menunjukkan botol minumnya yang selalu berisi milo panas. “sorry man, kalau gue emang ga bisa minum kopi. Cukup coklat panas, jangan lupa milo 3 in 1 biar ga perlu lu cari susu dan tambah gula lagi.”

Barangkali sejak dekat dengannya aku mulai perlahan meninggalkan kopi yang tahunan sudah menemani saat sedih dan senang. Peralihan kebiasaan itu beriringan dengan munculnya rasa coklat manis di hati padanya.

Sekilas menatapnya yang begajulan tanpa bisa diam barang sebentar, coklat tak cocok untuknya. Mendengarnya bicara mulai soal A sampai Z yang selalu bisa dia bahas dengan cerdas, biasanya dilakukan lelaki lain dalam pengaruh alcohol. Tapi dia tidak…

Coklat panas di botol minumannya digoyang. “Sial habis pula. Perjalanan masih jauh neh man.”
“Baiklah kemarikan botolmu aku isi ulang milo di ruanganku, sepertinya ada,” kataku
Tak pernah gampang mengajak dia keluar kandang dari kelompok permainannya untuk bisa barang sejam dua jam berbagi cerita denganku. Mungkin itu caranya menghindariku. Kalau aku tak bisa membuatnya nyaman dan betah, barangkali si milo bisa.

“Coklat panas!” Pintaku pada barista yang seharusnya meracik kopi… kopi yang pernah kucinta itu.
“Sejak kapan minum coklat?,” kata seorang teman

Sejak lambungku berontak dan seorang lelaki berotak menyerang isi kepala dan hatiku. Sejak si rambut berantakan dengan botol milo itu menemani mimpiku. Si coklat milo yang tak pernah mengerti isi hatiku, tak membaca tubuhku yang menggeliat minta diperhatikan, si coklat yang kucluk itu tetap memanggilku dengan kata “man” ah barangkali aku tak pernah tampak seperti perempuan di matanya.

Kedai Buku Waktu part 2

The Coffee Man

Bukan dia yang pertama mengajakku pergi ke Bakoel Koffie Cikini. Aku sudah berkali-kali sebelumnya kesana dan tentu saja tak ada kesan sampai dia yang mengajaknya.

Dia bilang disini lah tempat kopi terenak di Jakarta. Ah cerita ini bukan pesanan Bakoel Koffie tapi begitulah menurut dia. Menu Vietnamese adalah kopi pertama yang dia pilihkan untukku, “cobain deh Mbar, ini enak banget kalau dingin.” Viola…. Iya setelahnya aku suka. Setelah itu terjadilah pengulangan untuk menu yang sama.

Nyaris saban minggu kami mengaburkan diri dari keriaan kantor, hingar bingar teman sejawat dan cuma berdua kemari. Bicara tentang banyak hal, soal hati, keluarga dan kerja. Bukan tentang kami berdua, tak ada kisah diantara kami. Meski dari kopi itulah awal kusuka padanya. Bicara tentang kopi, seperti membuka sebuah ensiklopedia kopi dari kepalanya. Dia bercerita tentang kopi luwak, kopi termahal di dunia dari kotoran si luwak. Dia jelaskan padaku tentang beda rasa dari kopi Jawa, Sumatra sampai Toraja, kopi Brasil, Arabica, Italia, semuanya.

Jangan minta aku untuk menjelaskan ulang. Sebab setelah kisah kami berakhir, ensiklopedia itu pergi, memori di kepalaku menolak bertahan. Aku tak menyimpannya dengan baik. Yang kusimpan dan tersisa adalah rasa kopi itu sendiri…. Hmmm…
Saat bersamanya lah untuk pertama kali pula aku berani mencoba Espresso, kopi murni, hitam pekat. “rasanya gimana sih?,”

“Ya coba aja. It won’t kill you for sure. Pahit tapi ga sepahit cinta Ambar hahahha.” Kata dia sambil menyodorkan sisa espresso dari cangkirnya. “Kalau lu suka, baru kita tambah yah. Jajal aja dulu.”

Sambil merem, seperti minum jamu pahit, aku pencet hidung. Dia cuma tertawa, “tak ada keharuman lebih nikmat di dunia selain bau kopi Ambar.”

Bener loh. Rasa espresso yang pahit itu berbanding lurus dengan rasa manis yang tertinggal di ujung lidah. Harum kopi itu tak ada bandingannya… menyejukkan hmmm…

Bersamanya aku pergi berburu kopi ke seluruh kafe di Jakarta, oh well nyaris seluruhnya. Seluruh cabang Bakoel Koffie, kami sambangi. Jangan lupa Tornado Kemang juga masuk list teratas dalam daftar tempat dengan kopi terbaik. Kalau salah satu diantara kami gundah tengah malam, password di sms cuma satu, “ngupi yuks.” Lalu kami tahu salah satu dari kami sedang butuh kopi sebelum menelurkan serangkaian cerita, segumpal gundah yang menyesakan dada. Oh iya satu lagi kenikmatan kopi baru terasa bila dilengkapi dengan music jazz…

Sayang kebersamaan kami tak lama, kopi dan kami sama sekali tak kekal. Secangkir espresso terakhir yang kami bagi di Bakoel Koffie waktu itu telah menutup segalanya. Di mobil untuk pertama kalinya dia mengeluhkan dadanya yang berdebar karena kebanyakan kafein, padahal menu kami ketika itu sama seperti biasanya, double espresso. Hari itu terakhir kami minum kopi bersama.

Ah padahal bersamanya kopi tak pernah terasa pahit.

Kedai Buku Waktu part 1

Harusnya kedai buku ini dinamakan “museum hati” karena semua ornament dalam ruangan ini mewakili perjalanan si pemiliknya yaitu aku. Siapa aku? Bukan siapa siapa, yang kalau kamu google namaku pun meski muncul tapi tak akan ada dijajaran informasi selebritas apalagi pejabat public. Aku cuma perempuan biasa yang mencoba menghentikan waktu dalam sebuah bangunan seluas 21 meter persegi.

Yang paling kutakuti dalam hidup adalah lupa. Sebelum waktu dan usia membuatku lupa, aku menahannya di ruangan ini bersama dengan ratusan buku, belasan buah tangan oleholeh dari mereka yang pernah singgah di hati, belum lagi puluhan puisi cinta yang menclok bak majalah dinding masa SMP. Foto-foto yang menempel di dinding ruangan bukan foto selebritas tapi mereka adalah sahabat, keluarga dan bekas pencuri hati. Cinta… inilah tema yang sebenarnya dari Kedai Buku Waktu milikku.

Tapi waktu yang kusimpan berawal dari 2000-an ketika aku mulai mengenal cinta.

Terlambat kamu bisa bilang begitu, terserah saja atau kamu malah boleh marah karena mungkin waktumu tak ada di ruangan ini. Yang aku inginkan adalah setiap mereka yang datang melintas di kepala mereka, “gue juga pernah begitu dan begini” atau “I was there”. Resikonya ada dua, ketika kisah tak lagi sama, pelangganku tak akan kembali atau mereka akan selalu kemari karena merasakan hal yang sama denganku, waktu mereka dimulai dan berhenti di 2000-an. Mereka akan datang untuk mengenang, mereka datang karena takut lupa.

Masih ingat dulu kala kita suka sekali meninggalkan jejak pada tembok atau batang pohon? Aku siapkan dua batang pohon sawo kecik persis di gerbang kedai yang kututup dengan kain coklat dan tinta emas atau perak. Kamu bisa menuliskan kesanmu di sana atau malah menuliskan puisi yang mungkin tak sempat kamu sampaikan padanya. Jangan lupa beri tanggal, supaya aku dan kamu tak lupa.

Aku bukan siapasiapa, tapi aku bisa jadi siapapun karena barangkali kehidupan ini memang tak pernah kemana-mana, cerita kita bisa sangat seragam, sejarah yang berulang.

Aku membuat kedai buku waktu seperti sebuah puzzle kehidupan. Kalau kamu punya cukup waktu untuk menengok ke setiap penanda yang kutaruh pada dinding ruangan bahkan di daftar menu, kamu akan menemukan aku seutuhnya. Barangkali kamu ada disana, ibu atau ayahmu atau tante dan om mu, barangkali mereka pernah terikat dalam kehidupanku di suatu waktu.

Disini yang kusajikan adalah novel koleksi pribadi mulai dari kisah romantisme, perjuangan perang salib atau petualangan dunia khayal seperti Harry Potter dan kisah Robert Langdon dalam karyakarya Dan Brown. Klasik kamu sebut saja begitu, lagi-lagi semua ini buku yang mewakili era-ku, seleraku yang tak mungkin kupaksakan agar kamu suka.

Seperti kubilang tadi, aku menghentikan waktu dalam banyak ornament termasuk menu. Mari kutunjukkan.

The Coffee Man :
• Cappuccino
• Vietnamese
• Espresso
• Kopi Tubruk

The Choco Man :
• Hot Chocolate Natural
• Hot Chocolate Mint
• Ice Chocolate
The Tea Man :
• Oolong tea
• Green Tea
• Peppermint Tea
• Jasmin Tea
• Teh Poci / teh tubruk
*GingerAle
The Beer Man :
• Anker Beer
• Haineken

Apa kamu sudah menemukan maksud dari penamaan menu tadi?
Tepat sekali nama itu mewakili mereka yang pernah hadir dalam hidupku, cukup kuwakilkan dalam empat jenis minuman yang mereka suka. Semua itu yang pernah kunikmati bersama mereka.

Dulu sekali aku pernah duduk dengannya di sebuah cafĂ© kecil di Kaliurang 5, inilah tempat yang selalu kukunjungi saban kali mampir ke Yogyakarta. “Kalau kamu suka tempat ini, suatu saat aku akan membuatkannya untukmu. Eh atau kita beli saja tempat ini. Tunggu aku kaya yah.” Katanya sambil menggenggam erat tanganku.

Aku sudah menahan kenangan itu dalam Kedai Buku Waktu tanpamu… inilah Museum Hati-ku sebenarnya.
**

Bau Kasur

Izinkan aku bercerita tentang kasur single yang menemani bermalam-malam sepanjang tujuh tahun kebersamaan kami. Di kasur itu aku bentangkan lelah, migren kadang dan meringkuk perih pada malam-malam di awal sakit bulanan itu datang. Di kasur itu aku menumpahkan tangis pada malam-malam sedih, kadang dengan alasan kuat tapi tak jarang kasur itu basah tangis tanpa sebab sama sekali.

Kadang terlelap dalam gelap tapi kalau rasa takut hadir, bulu kuduk berdiri dan lampu pun terpaksa berpendar semalam suntuk. Di kasur itu aku berdandan di pagi menjelang kerja, kadang makan di atasnya dan yang paling sering kulakukan selain tidur adalah membaca buku, main bb atau jejeritan untuk lagu yang tak jelas. Pernah beberapa kali jatuh dari kasur sempit itu dalam tidur, mimpi heboh yang bodoh.

Malam ini aku merindu baunya, benjolan khas kasur kapuk yang mungkin tak lagi ditemui di banyak kamar. Seprei bersih yang selalu kuganti meski jarang kutiduri lebih dari 6 jam semalam. Wanginya menghantuiku beberapa hari terakhir. Lupa sudah rasanya berguling dua kali (karena ga mungkin lebih, sempit) di atas kasur itu dan tiga bantal yang lebih sering merebut ruang denganku. Lupa rasanya tidur lebih awal daripada jam sepuluh malam. Lupa rasanya berbagi cerita, doa bahkan tangis. Terlalu lelah untuk menyapa benda mati sekitar kasur. Selamat malam dan zzzzz…..

Cuma pengen tidur lebih panjang malam ini…