Thursday, August 18, 2011

Jadi Detektif Aja

Gue bahkan ga ingat kapan terakhir ke mal dan menengok brand Raoul. Brand yang suatu kali pernah gue lihat model kemeja dan gaun-nya bersama Mas Dono di Senayan City. Yang paling gue inget adalah itu tahun 2007/8 dan kata Mas Dono,”tren nya warna ungu nit.” Dan kami sedang berada di stand Raoul. Gue rasa masih liat Raoul setelah itu.
Lalu tidak pernah terlintas sedikit pun untuk menyimpan momen bahkan nama brand itu di kepala gue.

Sampai kemarin gue bertemu seorang produser film berasal dari India.

Bersama Dudu dan Agnes, kami mewawancarai dia. Sepanjang wawancara berlangsung yang gue perhatikan adalah pakaian, jam tangan, model kacamata sampai celana khaki yang dipakainya. Cara dia bicara, sikap tubuh dan suaranya. Mungkin karena gue ga harus konsentrasi untuk menerjemahkan, since dia lancar berbahasa Inggris. Buat si produser ini menyebutkan usia di depan orang asing akan bawa hal buruk. Whatever..

Selesai wawancara lalu meluncurlah dari mulut gue kepada Dudu dan Agnes,”kemeja yang dipakainya itu merk Raoul. Cuma brand itu yang cukup gila mengeluarkan kemeja berwarna ungu untuk pria. Coba tanyakan deh. Dan dia belum nikah, berarti belum 30 tahun let say 25-27, late 20s lah.”

Keesokan harinya pada sesi foto untuk si produser, Dudu menelpon gue,” Raoul, it is Raoul. How the hell do you know it? Dan dia 25thn. Nita, harusnya lu jadi detektif aja. You go on detils.”

Amazed. Gue sendiri aja kaget kenapa detil itu muncul di kepala gue. Sesuatu yang tidak pernah terpikir masih nyangkut di memori otak tibatiba memberikan informasi itu. Sementara soal usia, sepengetahuan sederhana tentang budaya India adalah soal perjodohan. Sekedar menebak saja sebenarnya kalau di usia 30an mereka umumnya sudah menikah dan kalau dia belum menikah artinya belum dianggap cukup umur untuk dijodohkan. Tarrraaa terlepas dari alasan yang benar atau salah, tebakan usia itu benar adanya.

Mungkin harusnya jadi detektif aja hahaha. Tapi apa yang gue kerjakan sekarang juga ga jauh dari urusan riset dan analisa plus kudu kreatif. Sedangkan detil itu terasah akhirnya sejak ngurusin event, go for detils yang mungkin tidak sempat dipikirkan orang lain. So afterall, I am an agent Nita 

Jangan Poligami, Please….

Maka bertemulah saya dengan seorang perempuan terpelajar lulusan luar negeri dengan title doctor yang mempromosikan poligami itu baik adanya untuk mendekatkan perempuan kepada Allah. Allah adalah Tuhan yang maha besar, Dia layak mendapatkan pelayanan umatnya dari banyak cara, tanpa harus lewat poligami.

Perempuan itu duduk di sebelah saya. Mungkin dia bisa menebak air muka saya yang tidak terkesan ketika dia bicara panjang lebar pada teman saya tentang indahnya poligami.

Dia lalu bertanya,”menurutmu gimana tadi penjelasan saya?.”

Saya,”bagian yang mana ya bu?”

Dia yang bersuara lembut itu pun cuma tersenyum. Saya mengerti arah pertanyaannya.

Saya tahu berdebat tentang landasan agama dengannya adalah kesia-siaan, pun saya bukan ahli soal agama. Inilah yang paparkan pada si perempuan pendukung poligami itu.

***

Usia saya kira-kira baru 5 atau 6 tahun. Terlalu kecil sebenarnya untuk mengingat sesuatu dan saya tidak ingat banyak tentang masa itu kecuali sebuah pertanyaan tetangga,”papimu kemana nit? Ke mami mu yang di lebak bulus yah?”

Yang saya ingat adalah saya menangis pulang dan bertanya pada mami saya,”emangnya nita punya mami lain mam?

Mami nita kan cuma mami ya kan?”

Seingat saya mami menangis untuk pertanyaan itu.

Usia saya sekarang 33 tahun, tapi kenangan tentang pertanyaan, reaksi saya dan mami melekat terus sampai hari ini. Lalu kenangan tentang perempuan yang teryata “mami yang lain” itu muncul sepotong-sepotong.

Tidak mudah bagi saya untuk menerima kenyataan bahwa mami saya ada dua orang. Kenyataan bahwa mami saya adalah yang kedua, tetangga yang mencibir mami karena dianggap mencuri suami orang dan saya adalah anak mereka, ketakutan kakak saya dari mami pertama akan membenci saya, itu semua menghantui saya sepanjang hidup. Bahkan sampai saya menuliskan ini.

Baru di bangku SMP seingat saya ketika mami yang akhirnya saya tahu adalah untuk kesekian kalinya meminta cerai pada papi saya. Pulang sekolah saat itu ketika papi meminta saya dan adik saya memilih mau tinggal dengan siapa, mami atau papi. Yang saya ingat, saya menangis sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin memilih karena saya menyayangi keduanya dengan sangat. Alasan mami meminta cerai adalah karena papi menikah untuk ketiga kalinya.

Saya sama sekali tidak membenci papi karena dia selalu adalah ayah terbaik yang pernah ada. Papi selalu ada untuk kami, untuk saya yang menjadi anak terdekatnya meski selalu berdebat tentang apapun seperti remote tv.

Tapi saya tahu mami menderita. Satu-satunya alasan kenapa dia bertahan dalam rumah tangga poligami adalah kami anak-anaknya, dia takut kami tidak bisa sekolah tinggi dan kehilangan figure ayah. Bertahan atau bercerai, in the end adalah buruk bagi kami… anak-anak mereka.

Poligami papi tentu saja terjadi sampai beliau meninggal dunia 2003 lalu. Saat itulah untuk pertama kalinya kesebelasan anaknya berkumpul. Itu pun masih diwarnai pertengkaran hebat tentang siapa yang berhak menentukan dimana papi akan dimakamkan. Ketika itu saya ingat betul, saya berdiri di tengah rapat keluarga besar dengan melayangkan telunjuk saya berteriak,”ANJING kalian semua, papi sakit ga ada satu pun peduli merawat, sekarang papi mati semua merasa perlu berjasa. Tidak ada yang boleh menyentuh papi kecuali GUE.”

Mami pertama pingsan, mami saya menangis sejadi-jadinya.

Anyway, saya tidak tahu bagaimana cara papi membagi waktu bagi ketiga keluarga yang dia bangun sementara kami tinggal di rumah berbeda. Kalau kejadiannya hari ini ketika Jakarta macet tentu papi saya ga jadi hebat dalam manajemen waktu.

Kami anak-anak papi ada 13 ekor. Tidak pernah terlintas sedikit pun apa jadinya kalau dulu kami berada di satu rumah besar dengan tiga mami. Tapi saya yakin masalahnya tetap sama, kami pun tidak akan rela berbagi ayah dan menerima kenyataan mami kami menderita.

Jadi kenapa kami, anak-anak ini tidak pernah ditanya dan dimintai persetujuan ketika ayah memutuskan poligami dan ibu akhirnya memutuskan menerima. Kami anak-anak poligami ini sama sakitnya, sama menderita sekalipun ayah ada dimana kami butuhkan.

***

Saya,”begitulah ibu. Saya menentang poligami karena saya tahu persis rasanya hidup dalam keluarga poligami. Saya tidak bicara atas nama ibu saya, tapi ini dari sisi saya, anak.”

Lalu perempuan ibu berkata,”Subhannallah. Jika semua dijalankan dijalan Allah, semua akan baik adanya.”

Say WHAT?? Sekarang dia bilang ayah saya salah dan berdosa karena poligami tidak dijalan Allah.. oh yeah great…

Saya sekali lagi menahan diri, percuma berdebat soal agama ketika hatinya tidak pada nilai manusia dan pemujaan tanpa isi kepala.

Untuk papi di alam baka, papi tercinta yang mengajarkan saya tentang hal paling berharga sepanjang masa, kasih sayang. Tidak ada secuil pun niat menuliskan ini untuk mengumbar “aib” keluarga. Yang saya inginkan adalah para lelaki dan perempuan tolong jaga perasaan anak-anak anda. Tolong, I’m begging you not to be a selfish parent.

Untuk mami, I love you with all of my hearts. Tidak ada kata “Tidak” untuk apa pun yang mami pinta dari saya. Saya tidak bisa menyembuhkan sedih mami terdahulu, tapi saya yakin bisa membuat mami bahagia sekarang dan nanti.

Writing Is Good For Your Soul… I’m kind of relieving now… semoga berguna.

Sunday, August 14, 2011

mari bersaing sehat

tadinya gue udah ga mau menuliskan tentang apa sebenarnya sudah sering diingetin sama temen-temen. ini tentang perempuan intimidatif bagi lelaki bermental tempe. oops ga boleh gue seperti begitu, okeh deh.. tahu.. berformalin, kenyal, mental-mental.

untuk kesekian kalinya, gue dianggapkan menakutkan bagi orang lain. semua karena mimpi, sikap, cara berpikir bahkan ambisi, semua dianggap berlebihan. ide-ide gue yang liar, mimpi gue yang terlampau tinggi, ambisius. terima kasih untuk yang menganggap gue demikian.

dulu banget, zaman smp, sahabat gue imron pernah bilang,"lu seperti ga butuh orang cowo dalam hidup. semuanya dikerjakan dan diputuskan sendiri." loh loh loh....

years and years later... pada saat gue pikir kita sama-sama dewasa, semuanya berubah, ternyata model beginian masih saja sama.

betulkah lelaki tak suka bersaing dengan perempuan? benarkah kita tak pernah bisa jalan bareng untuk dapat satu cita-cita yang sama?

sungguh tadinya gue ga mau berburuk sangka bahwa model begini cuma ada di lelaki yang tidak berpendidikan, lemah iman *loh* tapi kalau pandangan itu justru datang dari mereka yang ada di posisi menengah keatas dalam masyarakat, gue bisa bilang apa? ampun Tuhan, segitu doang bangku sekolahan mengajarkan anda.

gue memang bukan perempuan sederhana dalam cita dan ide, pengalaman mengajarkan gue untuk tidak biasa atau nanti binasa. jadi baiklah kita nantikan saja, masa jadi ratusan juta ga ada orang segila gue sih :-P




Wednesday, August 10, 2011

Tun dan Gue

Tun adalah judul novel cobacoba gue yang kedua yang ditulis sampai paling tidak melewati 90 halaman hahaha. Novel pertama sudah lah itu cuma iseng, sekali lagi iseng. yang pertama prosesnya jauh lebih sederhana dan tidak pernah diterbitkan.

Proses meramu Tun itu menyita perasaan, bagaimana menjauh dari tokoh di dalamnya, juga bagaimana merangsek di dalamnya kadang-kadang. Pada Tun gue dipaksa riset lokasi yang belum pernah dikunjungi sebelumnya juga memutar ulang memori yang sudah gue lupa. Memasukkan karakter baru mulai dari nama, wajah, bahasa, gaya pakaian, gaya bicara sampai isi kepalanya.

Bagaimana menemukan karakter di dalamnya? tentu meneplokkan pada orangorang terdekat, lebih mudah, namanya juga belajar. Si A misalnya, amburadul pisan dalam kenyataannya tapi gue ubah dia menjadi sosok yang menyenangkan, tidak sempurna tapi ternyata malah bikin gue jatuh cinta pada khayalan sendiri. ampuunn.

Saban saat gue tengok facebook page nya, apa yang dia tulis di status, menyusun karakternya, musik yang dia dengar, film yang dia tonton bahkan jenis buku yang dia baca.

Mas Q banyak kasih masukan, dia bilang yang penting TULIS, apapun that cross my mind, tulis dan tulis. Dulu dudu malah lebih kejam ngajarin gue nulis, satu halaman per hari dalam bentuk diary atau apapun. Dan buat gue cara yang paling asik buat nulis adalah di blog ini yang sudah 400 lebih postingan. Kadang terlupa untuk diisi.

Tun masih jauh dari kata sempurna, dia mungkin tak bisa dinikmati oleh semua orang bahkan terbilang biasa saja. Tapi gue menikmati prosesnya, menikmati diri menjadi Tuhan, menentukan jalan hidup para tokoh di dalamnya yang kadang ga masuk akal, terlalu jayus.

Hari ini Tun untuk pertama kalinya dibaca orang lain selain gue. Sumpah deg -degan. Tapi kalau bukan orang lain yang bantu menilai, selamanya gue akan ga pede-an, tersungkur pada kesenangan pribadi, mirip orang onani, begitu sih katanya halah.

Terima kasih untuk tementemen yang terus menyemangati gue buat menulis. Mas q, dudu, artha, dessy dan etta yang sering banget diajakin curhat soal Tun. Juga buat para bentuk karakter yang dibajak keberadaannya hehehe.

Terlebih Tun sebenarnya ditujukan untuk diri sendiri biar ga mati penasaran bagaimana rasanya bikin sebuah novel, buat temanteman yang menginspirasi cerita terutama para kawan dari Burma untuk cerita perjuangan mereka. Seorang kawan pernah minta gue untuk menceritakan Burma dalam bentuk berbeda. Semoga Tun bisa menjawab permintaan itu.

amin amin... selamat menikmati kalau beneran diterbitkan yaa. ya Allah amin :-)