Tuesday, July 31, 2012

apa yang bisa kamu lakukan dengan celana dalam bekas?


It has been my concern for the last two years; what are you going to do with your OLD UNDERWEAR?
Orang tua bilang jangan dibuang sembarangan, jangan dibakar, untuk alasan mistis. Tapi jelas ga mungkin dilungsurkan kepada orang lain, geuleuh atuh lah. Alhasil, sebagian besar cuma menumpuk di sudut lemari, berplastik-plastik, bertahun-tahun menjadi sampah. 

Saya google dengan key word, “olah celana dalam bekas” hasilnya cuma berita menggemparkan tentang mahalnya celana dalam bekas ratu Elizabeth kalau ga salah. 

Kemarin saya berencana untuk lebaran kali ini memberikan uang logam pada bocah-bocah sebagai salam tempel. Untuk melakukan itu saya membutuhkan kantong receh kecil. Sambil memandangi tumpukan bekas celana dalam, ide itu muncul. Gunting bagian bokong yang ukurannya lebih besar lalu dilipat menjadi kotak dan jahit tangan kiri dan kanan, sisakan lubang di atasnya untuk dilipat bersama benang kasur sebagai pengikat, VOILA… 

Hasilnya belum bagus, tenang bahannya masih banyak hahaha.. paling tidak malam tadi saya menyelesaikan satu saja masalah sampah dari lemari. 

People might laugh but think of these facts of your underwear. Pertama setiap dari kita ladies, we want the best fabric that makes us comfort wearing it, trust me their fabric might the best one of all you wear from head to toe. Kedua, kita berganti celana dalam lebih sering dalam satu hari, belanja lebih banyak dalam hitungan bulan, jangan melihatnya sebagai sampah, tapi bahan baku.  Selain kantong, sisa perca bisa digunakan sebagai isi bantal duduk atau sofa kecil. Kenapa ngga :-)
 
It’s about time to edit your life….. You can do much much better than me :-)

 

Friday, July 20, 2012

Five Bills Please


Ketika saya beranjak remaja dan mulai kenal kongkow dengan teman-teman sesama abegeh makan di AHA restaurant, papi saya pesan,”kalau ga punya uang jangan pernah ngajak temen pergi. Karena yang ngajak itu yang mestinya bayar.” Jadi karena keterbatasan uang saku, saya jarang sekali kongkow di restaurant kecuali lagi kecipratan rezeki luar biasa dari keluarga jauh. 

Ketika mulai kerja dan kenal pacaran, lain lagi ceritanya. Kata mami,”meski itu pacar kamu, jangan mau dibayarin. Bayar sendiri-sendiri atau patungan.” 

Dalam kelompok pertemanan saya, kami nyaris tak pernah hitungan. Ketika kongkow bareng, siapa saja yang punya uang duluan membayar. Di luar restaurant, baru kami berbagi tagihan tadi. Atau satu tagihan kami pukul rata… okeh semua 50 rebu, kalau ada sisanya kami beri kepada yang paling dhuafa di antara kami. Atau bisa banget kalau cuma pergi berdua dengan sahabat saya, kami bagi jatah. Jalan kali ini saya yang bayar, besok lusa giliran dia… intinya kami tak ingin pelit lah dalam pertemanan. 

2006 saya berkesempatan pergi ke Jerman. Itu kali pertama saya ke luar negeri. Cari jodoh sekalian aah. Tapi kawan saya Ayu bilang,”jangan mau sama cowok Jerman. Mereka pelit, disuruh bayar sendiri-sendiri. Percaya deh, nyesel lu.” 

Suatu kali saya diajak pergi dengan teman-teman seangkatan workshop di DW ke sebuah restaurant Italia di Bonn. Si pelayan perempuan bermuka gahar sejak awal bertanya,”sendiri-sendiri atau digabung.” Maksudnya? Tanya saya. Bill-nya mau digabung atau terpisah? Oooo…. Ok dipisah. 

Sejak itu saban ada kesempatan jalan dengan kawan-kawan saya yang berasal dari negara lain, saya sudah siap-siap dengan dana yang cukup. Apa kata papi saya itu sudah ga berlaku, meski saya yang diajak, tetap aja mesti bawa uang saku. 

Suatu malam saya diajak makan malam oleh kawan dari Jerman, kami berlima, tiga perempuan dan dua pria. “Malam ini ladies night. Jadi ada diskon lima puluh persen loh buat cewek-cewek.” Saya sih  senang-senang aja ada diskon. Kawan saya pilih makanan yang menurut saya harganya mahal. Oh iya kawan saya ini adalah cowok. Usai bincang ngalor ngidul, salah satu cowok di kelompok kami berbisik pada pelayan di sana,”tagihannya dibikin terpisah yah, lima.” 

Jreng… 

Tiap kami terima bill masing-masing. Kawan saya terbengong-bengong karena harus bayar mahal tanpa diskon. Saya intip dompetnya hanya cukup untuk bayar makanan itu. Mukanya panik. Saya membaca maksudnya, kalau saja bill itu dibuat satu, tentu semua akan merasakan diskon yang sama… 50% dan dia tak harus membayar lebih mahal hahahaha…. 

Kembali dengan kawan yang sama, kami makan malam kali ini 11 orang dalam satu meja. Tagihan makanan sampai lebih dari satu juta rupiah. Kali ini datanglah satu tagihan, alhasil tiga puluh menit terbuang karena berhitung belanjaan masing-masing. Ada yang membayar dua puluh ribu dengan recehan ala kenek bus.
Dengan model begini ternyata lebih merepotkan, kawan terakhir yang berhitung tibatiba di ujung meja berteriak…”oiii siapa yang belum bayar neh. Masa gue mesti bayar dua ratus rebu sendirian. Hayo ngaku.” 

Next time let’s stick to “five bills please”  

Wednesday, July 18, 2012

Kangen Surat Berperangko


Usai berkirim e-mail kepada teman di Jerman sana, tiba-tiba saya kangen pada surat berperangko. Kalau saja e-mail saya tadi ditulis di atas selembar kertas dengan tulisan tangan yang pasti sudah acak kadut karena jarang digunakan, tentu jumlahnya bisa berlembar-lembar. Saya bercerita panjang lebar tentang Jakarta yang bakal punya gubernur baru, tentang jalanan yang tetap saja bakal macet siapa pun gubernurnya nanti dan tentang musim kemarau dan hujan yang suka lupa waktu dan tak lagi bisa dibaca. 

Kalau saja kita tak kenal e-mail, tentu surat berlembar-lembar itu sudah saya masukkan ke dalam amplop dengan garis pinggir merah biru dan dilem. Besok pagi saya akan mampir ke kantor pos, beli perangko senilai dua puluh ribu, menempelkannya di sudut kanan amplop dan berkata pada penjaga loketnya, “Pak, pastikan sampai ya.”

Lalu saya akan menunggu dengan sabar, seminggu, dua minggu, berbulan-bulan sampai kembali menerima balasan dengan amplop tertutup, perangko dari Jerman dengan stempel posnya yang saya akan lepaskan dari amplop bahkan sebelum membaca isi suratnya. Mengumpulkan perangko dari luar negeri pernah dalam satu masa hidup saja menjadi hobi yang paling menyenangkan. 

Barangkali menunggu surat berperangko itu adalah kegiatan menunggu yang paling tidak menjemukan karena  dipenuhi rasa penasaran akan isi di dalamnya, terlebih saya akan punya koleksi perangko terbaru.

Saya kangen surat berperangko.

Pak Pos di tempat tinggal saya dulu di Pondok Pinang adalah orang yang sama sejak sama masih duduk di kelas empat SD. Saat itu saya cuma menerima surat dari Bi Cucu di Bandung bersama paket yang isinya selalu bikin saya tersenyum, baju baru. Beranjak kelas lima dan seterusnya, berkirim surat jadi hobi baru, bisa curhat dengan sahabat pena dari seluruh Indonesia. Tentang mimpi saya keliling dunia, tentang kejenuhan sekolah bahkan sampai saat kesal dimarahi mami papi. Surat paling berkesan yang pernah saya kirim adalah untuk Jordan Knight dari New Kids On The Block di fans club nya di Boston, ga dibalas tentu saja.

Sekarang surat-surat yang sampai lewat pos cuma tagihan, itu pun dengan perangko berlangganan, sama sekali tak menarik untuk dikoleksi apalagi dibaca ulang. Sedangkan tulisan tangan yang dulu bisa konsisten bentuknya sampai berlembar-lembar, sekarang tampak menjijikan, bahkan lebih buruk dari tulisan dokter. Kenapa kita tak lagi berlatih menulis pakai tangan, kemana ilmu menulis halus dengan buku garis tiga yang diajarkan sepanjang sekolah dasar dulu?

Ah saya kangen surat berperangko. Hey kawan, mari lakukan itu, biar kutunggu dengan penuh rasa penasaran suratmu.

Tuesday, July 17, 2012

Thank You …


So what if I surrounded by millions of handsome faces and brilliant mind. All I need is your heart.
So what if I keep complaining and crying while nobody is helping. I still have your shoulder
So what if I have to walk 20km, gaining 20kg just to get a new business links. I still find you at every look.
So what if I am sinking in my proposals, singing till losing my voice and nobody is listening. I still have your ear.
So what if I don’t have any car, master degree and still crawling to survive until the end of the month. I still have you…

So thank you for your love and for being you