Friday, February 03, 2012

Kenapa Tak Pernah Cukup?


Sudah lama saya mendengarkan konsultasi perencana keuangan di radio. Saban kali mendengarkannya saya selalu bilang “woo iya iya, kenapa ga terpikir sebelumnya? Kenapa gue ga pernah punya uang sisa di akhir bulan? Kenapa gaji gue ga pernah bisa cukup untuk kebutuhan sebulan?” ujung-ujungnya selalu menyalahkan diri sendiri yang tak pandai mengatur keuangan, ujung-ujungnya menyalahkan perusahaan yang tak pernah cukup memberikan gaji. 

Sebenarnya kebutuhan mengikuti gaji atau gaji harus menuruti kebutuhan kita? 

Dulu saya punya gaji 700 rebu perbulan cukup, punya gaji 3 juta yaa cukup, punya gaji 5juta malah berhutang. Salah satu kalimat paling terngiang di telinga dari financial planner itu adalah makin besar penghasilan lu makin besar juga “kebutuhan” itu. Kebutuhannya saya kasih tanda kutip karena sangat relative bagi setiap orang. 

Saya lalu coba benahi kebutuhan rutin saban bulan, masih bisa nabung sekian ratus ribu dan bisa cicil rumah. Tadinya saya merasa cukup apalagi asuransi kesehatan ditanggung kantor juga punya jamsostek dan dana kesejahteraan yang dipotong dari gaji. Cukuplah kalau saya keluar dari kantor atau sakit untuk bekal atau bahkan paling tidak kalau umur pendek yang ditinggal ga kelimpungan ngurus jenazah saya sampai ke pemakaman yang ongkosnya ga murah itu.  

Lalu mulai lagi si perencana keuangan bicara soal dana pensiun, asuransi jiwa dan kesehatan juga investasi. Mari menjabarkannya sedikit dan umum saja, karena saya bukan perencana keuangan, saya korban.
Asuransi jiwa, diitungitung 20 tahun masa saya hidup dari sekarang maka saya perlu meninggalkan dana sekitar 600jutaan untuk ahli waris supaya mereka bisa hidup “layak”. Saya pergi ke kantor asuransi, lalu google dan hasilnya, untuk asuransi murni senilai 600juta maka saya harus bayar premi asuransi sekian belas juta perbulan atau sekian puluh juta perbulan. Saya cuma senyum. 

Dana Pensiun, itunglah saya mau pensiun 15 tahun lagi maka dimasa itu saya butuh sekian ratus juga untuk bisa hidup mandiri tanpa menyusahkan anak-anak saya. Untuk dana pensiun saya tak punya memang kecuali jamsostek dan dana dari kantor itu tadi. Teman saya dessy dan paul ikut dana pensiun dan sudah 7tahun, baru terkumpul 8 juta, cuma nambah 1 juta pertahun. Berapa tahun lagi mereka harus kerja supaya pensiun jadi orang kaya? Saya lagilagi bisa senyum. 

Asuransi Kesehatan, saya ingat cerita seorang dokter yang menangani pasien yang meninggal karena aids. Tak satu pun asuransi kesehatan mau menanggung jenis penyakit ini, klaimnya tidak diterima meski premi yang dibayarkan sudah setinggi langit. Siapa diantara kita yang bisa menjamin kita tak akan pernah kena aids karena penyakit ini bukan sekedar menular karena hubungan badan. Belum lagi cerita betapa seringnya asuransi kesehatan mempersulit klaim. Saya untuk sekian kalinya tersenyum 

Saya malah jadi cekikikan saban kali liat rekening koran. Setelah dikurangi pengeluaran rutin, lanjut cicilan rumah dan tabungan jangka pendek, kalau masih harus untuk asuransi A, B dan C lalu bagaimana dengan pengeluaran sehari-hari yang mendadak? Bagaimana dengan biaya entertainment saya, toh seminggu sekali nonton film di bioskop juga menurut saya perlu untuk merentaskan stress kerja. 

Saya rasa cukuplah berinvestasi masa depan dengan rumah mungil saya di sentul city. Rumah itu untuk pensiun saya nanti, tidak lagi terkatung-katung dan jadi kontraktor seumur hidup seperti mami tercinta. Pelajaran paling mendasar itu buat saya. Kalau saya punya rezeki nanti barangkali saya mau berinvestasi untuk usaha yang riil seperti jualan sambel galak wkwkwk… 

Saya selalu merasa bersalah dalam mengambil langkah saban kali mendengar perencana keuangan atau motivator bicara wkwwkwk…. Saya matikan radio dan melanjutkan hidup…