Monday, April 23, 2012

Hari Terakhir 33


Galau. Galau karena sibuk menghitung apa saja yang sudah dicapai dan apa yang belum. Jangan tanya banyakkan mana, karena tak lagi kuhitung pakai angka. Tibatiba merasa cape, seperti dipaksa terus berlari tanpa henti. Bekerja tanpa istirahat, melek dan tak pernah benar-benar tertidur. Tibatiba ingin kabur dan meninggalkan semua yang ada, memulai hidup ini dari NOL. Tapi ga ada yang bisa benar-benar NOL karena aku tak lahir dan mendadak besar. Ada kang kabayan yang cintanya membuncah padaku, ada mami yang selalu menantiku pulang untuk berbagi cerita, ada zi yang selalu bisa membuatku tertawa. 

Bahagia. Untuk alasan pada dua baris di atas. Tak ada alasan untuk merasa sedih, karena aku kaya akan cinta. Aku punya kabayan, punya sahabat-sahabat terbaik yang pernah bisa kudapat, punya keluarga yang bersahaja dengan semua suka dan duka. Punya pekerjaan yang kusuka… 

Tapi betul malam ini aku merasa letih, seperti sudah berusaha keras tapi tak ada hasil yang dicapai, seperti comedian yang berusaha membuat penonton tertawa dan gagal. Padahal barangkali yang aku butuhkan malam ini adalah sedikit apresiasi dari apa yang sudah kukerjakan. Cuma itu. Well I guess this is just not my day, di hari terakhir 33 dan aku merasa sedih. 

Aku bahagia, bersyukur karena banyak cinta tapi bohong kalau aku tak merasa letih. Pengen istirahat dari semuanya….

Monday, April 02, 2012

30 Menit


Percakapan kami terputus, selalu begitu entah karena sambungan internet yang kacau atau salah satu dari kami terjebak kerjaan menumpuk atau sekedar bosan, tidak tahu lagi mau bahas apa. Selang beberapa hari kemudian percakapan dimulai lagi dan tidak pernah lebih dari tiga puluh menit lalu terhenti. 

Saban kali bertatap muka, situasi itu tidak berubah. Percakapan dalam damai hanya akan berlangsung selama setengah jam lalu salah satu dari kami mulai mencela dan berakhir dengan pertengkaran yang bukan sekedar merajuk manja tapi saling pukul bahu. Tapi kami tak pernah bermusuhan lebih lama dari tiga hari.

Bukan, kami tidak pernah menyebut kami sebagai sepasang kekasih. Kami berteman sangat dekat, dua jenis kelamin berbeda, berasal dari dunia berbeda tapi punya sifat yang sama, kami berdua tak suka pada “damai” jika bisa kusebut begitu. Hubungan kami naik turun, pertemanan kami yang panjang tak bisa dibilang mulus. Jangan tanya berapa banyak kekasih yang akhirnya mundur hanya karena tak sanggup menerima pertemanan kami. 

Apa kami pernah bercinta? Iya. Suatu kali kami bertemu dan bertengkar hebat dalam pengaruh bir dan mood yang sedang turun setelah hari panjang yang kami habiskan di lapangan mencari berita. Aku lupa awal pertengkaran itu apa, yang kuingat kami bertemu di kamar hotelnya yang hanya lima belas menit jalan kaki dari kos ku. Aku ingat kami bertengkar tentang idealis atau realistis, padahal kami berdua sepakat sebelumnya kalau kami masih terjebak di antaranya. Aku lupa awalnya pertengkaran itu terjadi tapi yang kuingat kepalaku sakit ketika bangun dan aku telanjang. Dia di sampingku. Aku merasa bodoh sekali, bagaimana bisa bercinta tanpa merasakan dalam keadaan sadar nikmatnya bercinta. Kami menunggu sampai sama-sama sadar sebelum mengulangi percintaan semalam. 

Apa aku mencintainya? Bagaimana menjabarkan cinta pada dia yang selama ini kuanggap sebagai sahabat, aku menikmati saat bercinta dengannya, aku merindukan kepergiaannya, apa aku mencintainya? Entahlah. Kalau kau tanya pertanyaan ini padanya dia akan tertawa terbahak-bahak, bagaimana mungkin cinta tumbuh di antara kami? 

Dia pernah hilang tanpa pesan selama dua tahun, kupikir dia sudah mati. Aku mencarinya ke semua teman, kiri kanan kutanyakan tentang dirinya. Aku menungguinya di kantor, di rumah dan emailku tak pernah ada balasan. Aku sempat panic sampai akhirnya kuputuskan, dia mungkin sudah mati. Dia selalu menghilang setelah percakapan tiga puluh menit saat kami berbincang lewat telepon atau chat room. Tapi tak pernah selama ini. Terakhir dia pamit untuk berlibur. 

Dia datang dengan senyum tanpa merasa bersalah telah membuatku panic setengah mati dan aku terlalu bahagia untuk bisa memarahinya. Aku memeluknya erat-erat,”bego, jangan pernah lu pergi tanpa kabar?” dan dia cuma tersenyum sambil mengelus rambutku. 

Lampu hijau di akun facebooknya masih mati. Sudah berkalikali aku berkunjung ke lamannya hanya untuk menikmati foto-foto yang ada di sana. Aku menunggu barangkali dalam tiga puluh menit ke depan percakapan kami akan berulang.

Apa aku mencintainya? Entahlah.