Monday, May 14, 2012

Catatan Perdana Pendaki Amatir di Puncak Gede


 
Di hari ulang tahun gue ke 34, dua minggu lalu ketika ide naik ke Puncak Gede itu tercetus dari Dado, teman perjalanan ke Sarongge kepada Eike, bakal rekanan kerja asal Jerman. “Lihat deh bagaimana Puncak Gede melambai-lambai ngajak kita buat naik,” kata Dado kepada Eike yang mukanya berbinar dan langsung menyambut,”Let’s go there in two weeks.” Gue cuma senyum-senyum saat itu.

34 tahun, mau apa dengan hidup ini? Apa yang belum gue lakukan ya? Sesuatu yang special harus dilakukan di sisa usia yang terus berkurang. Gue tidak pernah naik ke puncak gunung, selalu ketinggalan moment dan tidak mengejar moment karena gue pecinta lautan. But why not?!

Gue kirim email kepada Eike,”mind if I join you guys? I might be slow but I won’t slowing you down, finger crossed.” Gayung bersambut, gue siap ikut.

Persiapan cuma dua minggu untuk melatih kekuatan kaki yang telah lama jadi pemalas dan jantung yang memompa lamban belakangan ini. Lemak tubuh bertambah saban hari seiring makin malasnya gue bergerak. Sebenarnya ga yakin sama kondisi kesehatan sendiri, tapi toh masih ada waktu dua minggu, semoga masih bisa kekejar waktu untuk siapkan fisik.

Adalah bos gue Mas Tosca yang luar biasa mendukung rencana naik Puncak Gede. Dimulai dengan mengajak lari sore di Senayan, lumayan dapat tujuh lap jalan dan lari, okeh banyakkan jalannya deh. Mas Tosca yang rajin bertanya, sampai mana persiapan gue. Dia juga yang menggambarkan peta perjalanan dari Cibodas sampai ke Puncak Gede dan Suryakencana dengan semua hambatan yang akan gue hadapi. Begitu liat peta yang dibuat, gue sempat ciut. Huanjrit, mampu ga ya?

Peta itu dipelajari seksama oleh Eike dan diceritakannya dengan sempurna kepada beberapa rekannya supaya yang lain teryakinkan untuk ikut. Barangkali betul, aura positif itu menular. Excitement Eike dan support penuh dari Mas Tosca bikin gue semangat, I can’t let them down, I can’t let myself down.

Gue mulai jalan kaki dari Utan Kayu – Bunderan Hotel Indonesia, jaraknya ga yakin berapa jauh, kata Dado sih adalah 20km. Lalu dilanjutkan dengan 10 lap di Taman Surapati. Mas Danang yang ngajarin bahwa bukan cuma kekuatan kaki yang dilatih, tapi juga cara bernapas. Jangan mangap ketika lelah, terus mingkep aja, napas teratur dengan hidung. Berhenti sebentar barang 5 menit, tidak boleh lebih dari itu agar otot kaki ga manja. I did that. Ga pernah ada ruginya mendengarkan nasihat baik hehehe…

Lalu Inonk membongkar semua perlengkapan naik gunungnya, mulai dari sarung tangan, celana buat tidur, tongkat, topi penahan angin, inner jaket sampai tas carrier, tongkat dan botol minum lipet. Lengkap! Inonk juga yang melist daftar barang apa aja yang bisa masuk ke dalam day pack gue, yaitu botol minum, cemilan, jas hujan, tisu basah dan kering. Selebihnya masuk ke carrier. “Bikin nyaman diri lu sendiri, seperti tidak bawa beban nit,” katanya. I did that too…

Cemilan yang paling bermanfaat selama gue naik Sarongge dan selalu menyelamatkan jantung yang berdegup terlalu kencang adalah coklat hitam. Pernah baca, coklat hitam juga membantu memompa oksigen ke otak, bener ga sih. Tapi khasiatnya untuk memberikan energi itu teruji luar binasa. Gue ga bawa cuma 1 tapi empat untuk dibagi-bagi hehehe.

Support yang luar biasa juga datang dari Kang Kabayan. Pacar yang luar biasa *kecupkecup* dia cuma bilang,”yang penting kamu senang dan sehat, pulang selamat ya.”

Persiapan fisik dan material dilakukan dalam dua minggu. Tapi karena tim gue, Dado, Eike dan Thomas tidak dalam satu tempat, koordinasi dilakukan lewat email dan telepon. Kata Dado, ini adalah naik gunung dia teraneh bahkan H-1 belum juga belanja makanan buat dibawa. Eike dan Thomas datang jam 7 di Jumat malam, jam 8.30 malam baru belanja di Carrefour. Seperti Shop til you drop, kami berempat dibantu driver Kiky, mutermuter di dalam Carrefour. Menunya adalah Spaghetti dan bubur krim, roti dan sosis juga cemilan cereal. Ga ada nasi dalam menu kami karena menanak nasi akan lama dan menghabiskan persediaan gas.

Untungnya tol menuju puncak malam itu lancar, tumben. Sampai jam 12 malam diskusi eh debat terus berlanjut. Setelah soal menu, sekarang soal porter. Berapa porter yang dibutuhkan untuk empat orang apalagi Eike dan Thomas mampu mengangkat bebannya sendiri? Dalam rencana semula ada empat orang, jumlah yang ditentang Eike. Sementara masih debat soal jumlah porter, kami berkemas sampai jam 1.30 pagi.

Jam 7 pagi, tim Sarongge yang bersedia mendampingi kami ga cuma empat tapi ENAM… makin pusing tuh gue. Empat aja berantem, apalagi enam. Hasil negosiasi porternya lima tanpa menambah biaya dan mereka bawa makanan sendiri, Nasi Liwet dan Lontong yang luar biasa enaknya. Eike dan Thomas ga perlu tahu berapa yang berangkat, karena sebenarnya tim porter diselundupkan berangkat duluan bahkan sebelum keduanya bangun tidur hahaha…

Jam 10 sampai Cibodas, ngga tahu inti masalahnya dimana, yang gue tahu kami terpaksa menambah biaya masuk 50 ribu lagi agar Simaksi bisa keluar. Sambil menunggu urusan kelar, 11.30 gue mulai jalan ke Cibeureum bareng Inonk. Satu jam kami duluan pun tetap aja kesusul sama Eike dan Thomas, hadeuh. Istirahat sekitar 10 menit di Cibeureum, perjalanan dilanjutkan. Perpisahan dengan Inonk, Asrul dan Bjoe juga Kiky… tunggu kami di Sarongge yaaa… Gambatte!

Cuma ngeliat Eike dan Thomas dalam 10 menit lalu mereka hilang di dalam hutan bersama Kang Syarif, salah satu guide kami. Busyet cepet amat dua orang itu. Gue dan Dado berjalan pelan. Dado terus menyemangati,”ingat ini bukan lomba, ini wisata. Jadi nikmati alam saja. Ga ada yang maksa harus nyampe jam berapa kan?”

Gue mulai mengatur napas dan langkah. Saban 10 langkah berhenti dua menit untuk tarik napas. Saban 30 menit berhenti 5 menit untuk minum dan duduk, dan saban 1 jam makan coklat hitam hahaha.. teratur banget yak. Yang paling penting adalah menikmati perjalanan tanpa beban. Seperti pesan Inonk, “buang semua pikiran jelek, datangin aja bayangan yang bagusbagus.” I did that too…. Gue menyapa semua orang yang ketemu di jalan,”hi naik atau turun. Kalau naik, kita bareng yuks.” Beuh jadi pendaki paling ramah deh hari itu. Gue bahkan bicara pada daun, celingukan cari burung, cari surili, mendengar air bahkan nyempetin cuci muka. Yang ga gue lakukan cuma foto, wong ga bawa kamera hehehe. Biarin deh semuanya terekam dalam kepala saja.

Saban kali mencapai spot yang digambarkan Mas Tosca dalam peta, gue menjerit “Huaaa nyampe jugaa di sini.” Dari Cibeureum ke Air Panas lanjut ke Kandang Batu sampai ke Kandang Badak, butuh waktu sekitar 6 jam. Lambat buat yang terbiasa naik ke sana, buat gue ajaib untuk bahkan sampai ke sana.

Kami sebenarnya janjian makan siang di Kandang Batu, tapi karena gue sama Dado super lambat, we missed our lunch L ada anak baik lagi makan roti di sana, gue bilang gini”eh boleh bagi rotinya ga? Lapar euy.” Oohh mari bu diambil aja… huhuhu sedihnya. Tapi ga kalah sedihnya liat kondisi Kandang Batu yang super kotor!

Antara Kandang Batu dan Kandang Badak melewati sungai kecil dan tanjakan yang mulai curam. Gue berhenti sebentar untuk meditasi, eh beneran bisa, gue pikir sudah lupa caranya. Gue bicara pada diri sendiri,”jantungku sayang, kita masih kuat kan untuk sampai ke puncak. Yuk semangat.” Tarik napas tiga kali dengan oksigen yang luar biasa segarnya, gue menghilang 5 menit. Abis itu kekuatan luar biasa datang, gue jalan tanpa berhenti lagi sampai di Kandang Badak, lumayan dah. Sampai di Kandang Badak, gue kembali berteriak, “Ya Allah jadi ini Kandang Badak? Huaaa saya mau sembah sujud dulu. I made it YUHHUUU…” dan ada banyak orang kemping di sana menonton aksi gue. Semua gue sapa,”Hai, Hai, saya orang baru di sini hihi.” Dado menghilang dari pandangan gue karena malu hahahha

Sampai di spot tenda, Eike bilang,”Where have you been? We have been waiting for you too long.” Sambil nyengir… Hahaha asa reuk nimpuk kusandal. Thomas gue temukan tepar di matras sebelah, sakit, batuk dan pilek ngucur. Serba bingung untuk ngobatinnya, kalau dikasih obat nanti dia tidur sementara kami masih akan lanjut perjalanan di pagi buta. Akhirnya gue kasih minyak angin biar anget hehehe.

Kang Syarif kepayahan ngikutin dua sprinter ini, mereka besar-besar, langkah kakinya bisa tiga kali ukuran kang syarif yang mungil.”Saya seperti dikejar-kejar macan mba Nita,” sambil ngurutin kakinya yang kram.

Nasi liwet digelar lengkap dengan sambel Sarongge yang beken dengan pedasnya. Thomas dan Eike, bule hebat yang ga rewel sama makanan lokal dan pedasnya sambel. Mereka makan lahap. Tapi kan kami sudah punya spaghetti dan tugasnya Eike untuk masak,”Siapa mau makan spaghetti?” semua nunjuk tangan termasuk para porter. Spaghetti special karena ditambah sambal Sarongge hahaha. Tapi buat para porter ini makanan aneh,”naha meuni asem kiye nyak,” (kenapa asam gini rasanya) itu karena saos tomat.

Jam 8 malam gue masuk tenda, ga tahan sama dingin yang luar binasa. Gue tidur dengan inner poly dan jaket, celana tebal dan kaos kaki wol juga sarung tangan. Ga bisa tidur karena dingin dan ngorok kawankawan huahuahua dan menahan pipis karena terlalu dingin di luar tenda. Jam 2 pagi semua berkemas, jam 3 lanjut perjalanan menuju Puncak Gede untuk mengejar matahari terbit.

Beruntung benar kami memulai perjalanan saat masih gelap, gue ga harus melihat tanjakan yang terjal itu. Tapi inilah spot paling berat bukan karena terjal tapi oksigen yang berkurang dan bercampur sulfur. Jalan gue makin lamban dan sering ngeluh. Duh maaf yaa…. Gue ga bisa meditasi karena oksigennya berkurang.

Saat frustasi gitu tibatiba ada orang lewat bilang,”Neng mau nasi uduk?” WHAT!!! Busyet deh, jam berapa bikinnya itu nasi uduk jam 4 pagi ada di kawah. Tapi karena si akang nasi uduk gue mendadak semangat, sial, dia aja berjuang untuk jualanan sampe ke Puncak Gede sanggup, masak gue ga. Maju terusss…

Di Tanjakkan Setan, gue kesetanan. Ga kepikiran soal kemungkinan gagal, ga ada ngeluh, gue lanjut merayap ke atas dengan sangat cepat. beneran kesetanan. Tibatiba sampe aja. Dado dan Kang Ayan sampe gemetaran ngeliatin gerakan gue dari bawah.

Semua terbayar begitu sampai di tepi kawah jam 5.30 pagi. Belum kehilangan moment menyaksikan semburat matahari terbit, cantiiiiikkk luar biasa. Sulit banget menggambarkan rasa dengan kata-kata, ini lebih sulit daripada mengungkapkan cinta. Beneran.

“Beauty does has its own price”begitu kata Eike sambil memandangi matahari lewat kamera fotonya.
Sampai jam 7 pagi kami memandangi matahari yang kian tinggi sebelum melangkah lagi ke Puncak Gede. Sampai di sana tepuk tangan, saling berjabat tangan dan gue dong jadi pusat perhatian mereka hahaha… pasti karena semua meragukan kemampuan gue untuk sampai Puncak Gede. “You made it.”

Di Puncak Gede ada sinyal telepon. Uwa Dira tuh yang mulai telepon, menyusul gue dan Dado. Eike kesel luar biasa dan menyita HP kami. “You have no sense of Romance at all.” Hahaha

“Where is Jakarta?” tanya Thomas. Eike jawab,”Look for the black cloud. Its pollution and that is Jakarta.” Dan di sebelah sana adalah Gunung Salak tempat berduka karena Sukhoi jatuh, sebelah Gede adalah Pangrango.

Bagaimana rasanya ada di Puncak Gede? Luar biasa. Berasa kecil jadi manusia, damn right, manusia ga bisa bikin gunung dan land scape seperti ini kecuali kekuatan maha kuasa. Versi Eike,”There is nothing like on the top of the mountain.” Dan gue sekarang tahu rasa yang dialami Mas Tosca, Mas Danang dan Inonk. Gunung membuat gue jatuh cinta padanya. Terbayar sungguh semua lelah. Kalau harus diulangi beberapa kali pun, gue rasa sanggup. One day I will be back.

Lapar membuat kami turun ke alun-alun SuryaKencana. Lagilagi gue teriak,”Ahoi, cantiknyooo… ini toh Surya Kencana, no wonder semua orang mengaguminya.” Sayang pas kami datang, lebih mirip perkemahan massal, penuh tenda, anak-anak muda bercerita, aksi foto-foto. Tidak banyak Edelweis yang berbunga.

“You can have teh manis if you want,” kata Eike. “we don’t have tea,” kata gue. Eike melirik ke lelaki tak jauh dari tempat kami duduk,”dia jualan teh manis tuh.” Hahahha… segelas kecil teh manis harganya 5000 dan teh tawar 3000 rupiah di Surya Kencana…. Ini tempat piknik massal cyiiin…

Sarapan kami bubur krim jagung + sosis + roti, kata para porter,”naha siga utah nyak.” (mirip muntah) hahaha tapi dimakan juga tuh tentu saja disambi dengan nasi liwet sisa semalam.

Surya Kencana adalah padang yang dahsyat, kiri kanan pohon Edelweiss meski belum berbunga. Rerumputan yang tertiup angin membuat pemandangan seperti ombak. Kami berjalan lebih lamban sambil menikmati sinar matahari yang menyengat tapi tak bikin hangat. Di batu kursi temanteman bikin permintaan masing-masing. Gue ambil peran penikmat keceriaan itu saja.

Di Batu Dondang kami istirahat 10 menit, lebih banyak untuk berganti kostum dan siap keringetan lagi. Jaket dan jumper digulung, tinggal t-shirt dan sarung tangan. Perjalanan turun tidak akan lebih mudah karena kaki akan menahan beban tubuh. Melewati hutan basah yang licin dan rimbun luar biasa menyenangkan. Bau tanah dan daun segar. Gangguannya cuma lebah yang ga membiarkan gue istirahat barang sebentar. Saking kesel sama lebah, gue sama sekali ga istirahat kecuali untuk benerin tali sepatu. Cuma butuh 2,5 jam untuk sampai lagi di Camping Ground Hutan Sahabat Green Sarongge. Jari kelingking kaki kiri dan jempol kaki kanan yang paling menderita. Cenat cenut luar binasa. Beberapa kali kepeleset dan jatuh duduk, lengan luka karena duri udah ga terasa lagi.

Gue, Dado dan Kang Syarif jadi tim terakhir yang sampai. Para sprinter itu menyambut kami ketika tiba di Camping Ground. Ada Inonk, Bjoe dan Asrul yeay… senangnya berjumpa kalian lagi. Kirain ga akan sanggup nyampe di sana.
Kata Inonk,”palingan tiga minggu lagi lu bakal kangen gunung nit.” Well Nonk, ga butuh berminggu-minggu untuk kangen sama gunung, pagi tadi gue udah berkhayal balik lagi ke Puncak Gede.” Tahun depan target dari Inonk dan Malika adalah naik Gunung Kerinci. Yeay… Bismillah saja!

Jadi begitulah perjalanan persiapan sampai kembali dari Puncak Gede. Pengalaman luar biasa menyenangkan. Ini adalah salah satu moment terbaik dalam sepanjang hidup gue. I am proud of myself.

Pelajaran yang gue dapat dari perjalanan ini:
  1. It’s never too old to do something new. For me it’s to go to the top of Gede 
  2. Push yourself to the limit then you’ll know that there is no limit if you believe in yourself.
  3. Life is an adventure. Find one always or you just die stagnant
Terima kasih untuk:
  1. Eike Johann for giving me the excitement from the beginning of this trip. You gave me the positive aura to keep continue this tough journey.
  2. Thomas Strobel for fun trip and your spirit to conquer your sickness for the beauty of Gede and your friendship, that gave me the positive aura too.
  3. Dado. Makasih buanyak telah sabar menemani gue yang lamban, makasih buat semangatnya. Terima kasih buat berbagi tips naik gunung.
  4. Mas Tosca, petanya sangat berguna, latihan di Senayan itu juga luar biasa membantu.
  5. Malika Inonk, kalau bukan karena lu yakin sama kemampuan gue nonk, beuh barangkali gue down sejak awal. Makasih yaaa
  6. Bjoe.. dahsyat untuk semua bantuan lu selama persiapan dan sesudahnya. Makasih sudah sabar menghadapi rewelnya kami yak.
  7. Mas Danang untuk tipsnya.
  8. Kang Dudu dan Kang Syarif yang khawatir pisan sama saya, sampai merasa “mesti” menemani perjalanan ini. Huhuhu kalian membuat saya berasa aman hehehe.
I am getting older, but somehow I feel so much younger then before :-) this is the best birthday present ever!!!

Puncak Gede 12-13 Mei 2012