Friday, June 29, 2012

Mati Rasa


Air mataku kering persis setelah kepergianmu. Kecupan terakhir di terminal 2 Soekarno-Hatta membawa pergi semua rasa, cinta, sedih, marah.
Tak ada cinta tersisa untuk siapa pun yang datang di hari-hari kemudian.
Aku mati rasa. Aku mati raga  

Pukul aku… sakitnya tidak akan melebihi pedih saat punggungmu berlalu perlahan lalu menghilang.
Tak akan ada air mata deras seperti malam terakhir aku dan kamu berbagi gelap dan isak tangis berirama sendu. Bantal kita basah, mata sembab dan detak jam dinding adalah siksaan. Kita bertahan dengan mata terbuka, karena terlelap hanya akan membuang sedetik waktu terakhir bersamamu. 

Otakku bekerja lebih keras dari hari biasanya. Dia kupaksa merekam sudut bibirmu yang tertarik saat tersenyum. Nada tawa terbahak yang pernah kita bagi untuk berbagai lelucon yang mengalir. Bahkan tangismu malam itu.

Tahun berlalu. Aku tak pernah merasa hidup selain denganmu. Aku terlanjur mati saat kamu pergi.
Tahun berlalu dan kamu kembali. Senyummu kini terperangkap dalam bingkai foto dan suaramu yang perlahan kulupa…

Maafkan


Maafkan
Kalau cinta itu datang cuma sekali dalam hidup dan itu bukan kamu,
Tapi dirinya yang pergi membawa hati dan hari-hariku

Maafkan
Karena perut mulas dan air mata yang tiba-tiba mengalir tidak terjadi saat bersamamu,
Tapi melihatnya mematung dalam bingkai foto dengan senyum yang tidak pernah terhapus dari ingatanku

Maafkan
Setiap malamku bukan terisi mimpi tentangmu
Tapi memoriku memutar berulang-ulang hari-hari yang pernah terlampaui dengannya

Maafkan
Bukan suaramu yang menggetarkan hati dan terekam dalam kepalaku
Tapi suara yang berulang terucap dari teleponnya di seberang sana.

Maafkan
Karena cinta itu masih miliknya….

Thursday, June 28, 2012

Mari Bicara


Tentang kata yang selalu tersangkut di kerongkongan
Tentang diammu yang menyimpan jutaan rahasia tentang kata-kata yang tersangkut itu
Tentang cinta yang cuma terpancar dari sorot mata.

Aku tak lebih baik darimu dalam menutupi rasa
Kata-kataku liar meluncur meracau tentang cinta tentang rasa tapi tak juga tentang kita
Harusnya aku tak perlu seterang itu menjabarkan alasan kenapa cinta itu ada dan kita mestinya bersama.

Lalu kamu tetap diam meski matamu bicara lebih lancar daripada bibir sensual yang menempel di wajah tampan yang menghiasi malam-malamku
Lalu kamu menunduk, khawatir matamu tak bisa lagi membohongi rasa yang ada di dadamu.
Kamu sedang membohongi cinta, membohongi kita

Aku teramat jujur tentang rasa yang ada
Kamu terlalu pengecut menutupi semua dan membiarkan kita terluka
Untuk apa?

Kutampar wajah tampanmu yang menghiasi malam-malamku… kutampar sekeras kumampu dan kamu berlalu…
Dan kita tak pernah lagi bicara…

Monday, June 25, 2012

Bulan Sejuring




Aku, kamu dan bintang berserakan di langit bersih tanpa awan, tanpa angin semilir.
Aku, kamu dan malam yang tak gulita, temaram oleh api unggun yang memakan kayu perlahan, menghantar hangat, melelehkan dingin yang ada di sela kita berdua. 
Aku dan kamu diam menikmati sunyi. Hanya jangkrik yang berisik dan burung hantu yang terbangun dari tidur siang kelamaan.
“Bulannya bagus ya,” katamu
“Bulan sabit, aku menyebutnya sejuring, hanya segaris senyum yang dia berikan,”kataku.

Lalu kita terdiam, di bawah langit dipenuhi bintang berserakan.
“Kamu membaca alam?,” tanyamu lagi
“Sesekali begitu,”kataku tanpa memandang dirimu yang terlentang di sampingku.
Jemari kita bersentuhan, dadaku berdebar lebih kencang, sangat kencang.

Tiba-tiba awan hitam menelan bulan sabit. Aku dan kamu tidak membaca darimana datangnya. Angin berhembus bertambah dingin, api unggun berjuang keras untuk bertahan. Dingin menggigit tulang.
“Bulan sabit menghilang, mari kita pulang.” Kataku beranjak berdiri
“Kali ini kita salah membaca alam.” Katamu melipat sleeping bag.
“Tapi kurasa kita tak salah membaca hati.” Kataku tersenyum, cuma segaris tipis seperti bulan sejuring... atau kita sedang saling membohongi diri sendiri...

Wednesday, June 20, 2012

Hantumu Di Bangku Itu

Aku pernah menunggumu di cafe itu dengan cemas.
Akan tampil seperti apakah kamu di pertemuan pertama kita tanpa embel-embel "kerja"?
Apakah aku berbusana layak malam ini? Apakah kita akan lebih jauh melangkah daripada sekedar canda tawa sebagai kawan? Apakah aku akan tertarik padamu dan kamu padaku?

Aku berharap tidak, karena kita berdua tertaut waktu yang tidak akan membuatnya menyempit kecuali keajaiban terjadi, kecuali  kita berusaha. Sementara aku dan kamu terlalu sibuk untuk berjuang soal hati. Kita hanya tahu ada hal lain yang lebih penting daripada rasa ini.

Lalu aku kembali ke meja yang sama, di bangku yang pernah kamu duduki. Rasa hangatnya menjalar dari bokong sampai ke hati lalu mengalir di sudut mata. Aku merindukanmu.

Sudut bibirku menyungging melihat bayanganmu tertawa padaku, menatap matamu yang berbinar saban kali bicara. Aku menciumi baumu yang menempel di hidungku dan enggan ikut angin berlalu.

Aku mendengar suaramu berbicara padaku, dekat sekali di telinga. Aku memutar ulang mimik wajahmu di setiap intonasi kata, jemarimu yang melayang-layang mengikuti kalimat. Aku degar tawamu, dekat sekali. Aku bahkan merasakan napasmu yang hangat menyentuh pipiku.

Aku tersenyum dan beranjak pergi.

Kamu hantu dan kita telah bertemu, kata-kata tetap tersimpan dalam diam tanpa pernah terucap. Aku dan kamu hanya tahu tentang rasa....

Tuesday, June 12, 2012

Lubang Semut


Semut-semut hitam kecil itu membangun rumah di dalam sol sepatu karetnya yang entah berapa tahun tak terbasuh air dan sabun. Lubang mereka tak cuma satu, bahkan lima di setiap sisi sol sepatu setebal lima sentimeter itu. 

Semut itu menemaninya terbang dari satu daerah ke daerah berikutnya, melintasi gunung dan laut. Semut itu pasti lelah berada di kakinya yang tidak pernah berhenti melangkah tegap menyeberang parit, menjejak di pasir dan batu bahkan terendam di sumber air panas. Sebagian besar semutnya mati, tapi selalu muncul generasi baru entah datang dari daerah mana yang betah menetap dalam lubang di sol karet sepatunya. 

Dia menundukkan kepala, mengamati lubang semut dan menjelajah jemarinya menghitung jumlah lubang lalu tersenyum. Kurasa dia menganggap semut-semut itu bagian dari dirinya, bagian dari perjalanannya menikmati hidup sebagai petualang. 

Semut itu punya rumah di sol karetnya dan aku menatapi mukanya yang terus tertunduk menatapi semut yang keluar masuk dengan penuh cinta. Harusnya bukan semut yang punya rumah di dirimu, harusnya aku. 

Dia mengangkat kepalanya menatapku lalu tertawa,” ha ha ha harusnya kamu yang ikut aku kemana pun, bukan semut-semut ini.”

Espresso

Katamu hidup ini kompetisi. Kalah dan menang jadi resiko, hadapi!
Katamu hidup ini pesta, rayakan duka, tangisi suka!

Kataku hidup ini kopi, dia pekat dan pahit, tapi kalau tahu cara menikmatinya, dia akan selalu meninggalkan manis di ujung lidah.

Lalu kamu dan aku sruput espresso itu bersamaan dan terdiam, menikmati rasa yang menjelajah seluruh bidang mulut. Menyesap hingga luberan espresso di pinggir cangkir... diam...

Espresso terakhir dan besok kursi di depanku ini kosong.

Wanginya akan menemani pagimu dan siang untukku... sendiri.

Single Espresso dan senyummu yang tertinggal di akhir hari... manis.