Sudah lama saya mendengarkan konsultasi perencana keuangan
di radio. Saban kali mendengarkannya saya selalu bilang “woo iya iya, kenapa ga
terpikir sebelumnya? Kenapa gue ga pernah punya uang sisa di akhir bulan? Kenapa
gaji gue ga pernah bisa cukup untuk kebutuhan sebulan?” ujung-ujungnya selalu
menyalahkan diri sendiri yang tak pandai mengatur keuangan, ujung-ujungnya
menyalahkan perusahaan yang tak pernah cukup memberikan gaji.
Sebenarnya kebutuhan mengikuti gaji atau gaji harus menuruti
kebutuhan kita?
Dulu saya punya gaji 700 rebu perbulan cukup, punya gaji 3
juta yaa cukup, punya gaji 5juta malah berhutang. Salah satu kalimat paling
terngiang di telinga dari financial planner itu adalah makin besar penghasilan
lu makin besar juga “kebutuhan” itu. Kebutuhannya saya kasih tanda kutip karena
sangat relative bagi setiap orang.
Saya lalu coba benahi kebutuhan rutin saban bulan, masih
bisa nabung sekian ratus ribu dan bisa cicil rumah. Tadinya saya merasa cukup
apalagi asuransi kesehatan ditanggung kantor juga punya jamsostek dan dana
kesejahteraan yang dipotong dari gaji. Cukuplah kalau saya keluar dari kantor
atau sakit untuk bekal atau bahkan paling tidak kalau umur pendek yang ditinggal
ga kelimpungan ngurus jenazah saya sampai ke pemakaman yang ongkosnya ga murah
itu.
Lalu mulai lagi si perencana keuangan bicara soal dana pensiun,
asuransi jiwa dan kesehatan juga investasi. Mari menjabarkannya sedikit dan
umum saja, karena saya bukan perencana keuangan, saya korban.
Asuransi jiwa, diitungitung 20 tahun masa saya hidup dari
sekarang maka saya perlu meninggalkan dana sekitar 600jutaan untuk ahli waris
supaya mereka bisa hidup “layak”. Saya pergi ke kantor asuransi, lalu google
dan hasilnya, untuk asuransi murni senilai 600juta maka saya harus bayar premi
asuransi sekian belas juta perbulan atau sekian puluh juta perbulan. Saya cuma
senyum.
Dana Pensiun, itunglah saya mau pensiun 15 tahun lagi maka
dimasa itu saya butuh sekian ratus juga untuk bisa hidup mandiri tanpa
menyusahkan anak-anak saya. Untuk dana pensiun saya tak punya memang kecuali
jamsostek dan dana dari kantor itu tadi. Teman saya dessy dan paul ikut dana
pensiun dan sudah 7tahun, baru terkumpul 8 juta, cuma nambah 1 juta pertahun. Berapa
tahun lagi mereka harus kerja supaya pensiun jadi orang kaya? Saya lagilagi bisa
senyum.
Asuransi Kesehatan, saya ingat cerita seorang dokter yang
menangani pasien yang meninggal karena aids. Tak satu pun asuransi kesehatan
mau menanggung jenis penyakit ini, klaimnya tidak diterima meski premi yang
dibayarkan sudah setinggi langit. Siapa diantara kita yang bisa menjamin kita
tak akan pernah kena aids karena penyakit ini bukan sekedar menular karena
hubungan badan. Belum lagi cerita betapa seringnya asuransi kesehatan
mempersulit klaim. Saya untuk sekian kalinya tersenyum
Saya malah jadi cekikikan saban kali liat rekening koran. Setelah
dikurangi pengeluaran rutin, lanjut cicilan rumah dan tabungan jangka pendek,
kalau masih harus untuk asuransi A, B dan C lalu bagaimana dengan pengeluaran
sehari-hari yang mendadak? Bagaimana dengan biaya entertainment saya, toh
seminggu sekali nonton film di bioskop juga menurut saya perlu untuk
merentaskan stress kerja.
Saya rasa cukuplah berinvestasi masa depan dengan rumah
mungil saya di sentul city. Rumah itu untuk pensiun saya nanti, tidak lagi
terkatung-katung dan jadi kontraktor seumur hidup seperti mami tercinta. Pelajaran
paling mendasar itu buat saya. Kalau saya punya rezeki nanti barangkali saya mau
berinvestasi untuk usaha yang riil seperti jualan sambel galak wkwkwk…
Saya selalu merasa bersalah dalam mengambil langkah saban
kali mendengar perencana keuangan atau motivator bicara wkwwkwk…. Saya matikan
radio dan melanjutkan hidup…