Percakapan kami terputus, selalu begitu entah karena
sambungan internet yang kacau atau salah satu dari kami terjebak kerjaan
menumpuk atau sekedar bosan, tidak tahu lagi mau bahas apa. Selang beberapa
hari kemudian percakapan dimulai lagi dan tidak pernah lebih dari tiga puluh
menit lalu terhenti.
Saban kali bertatap muka, situasi itu tidak berubah. Percakapan
dalam damai hanya akan berlangsung selama setengah jam lalu salah satu dari
kami mulai mencela dan berakhir dengan pertengkaran yang bukan sekedar merajuk
manja tapi saling pukul bahu. Tapi kami tak pernah bermusuhan lebih lama dari
tiga hari.
Bukan, kami tidak pernah menyebut kami sebagai sepasang
kekasih. Kami berteman sangat dekat, dua jenis kelamin berbeda, berasal dari
dunia berbeda tapi punya sifat yang sama, kami berdua tak suka pada “damai”
jika bisa kusebut begitu. Hubungan kami naik turun, pertemanan kami yang
panjang tak bisa dibilang mulus. Jangan tanya berapa banyak kekasih yang
akhirnya mundur hanya karena tak sanggup menerima pertemanan kami.
Apa kami pernah bercinta? Iya. Suatu kali kami bertemu dan
bertengkar hebat dalam pengaruh bir dan mood yang sedang turun setelah hari
panjang yang kami habiskan di lapangan mencari berita. Aku lupa awal
pertengkaran itu apa, yang kuingat kami bertemu di kamar hotelnya yang hanya
lima belas menit jalan kaki dari kos ku. Aku ingat kami bertengkar tentang
idealis atau realistis, padahal kami berdua sepakat sebelumnya kalau kami masih
terjebak di antaranya. Aku lupa awalnya pertengkaran itu terjadi tapi yang
kuingat kepalaku sakit ketika bangun dan aku telanjang. Dia di sampingku. Aku merasa
bodoh sekali, bagaimana bisa bercinta tanpa merasakan dalam keadaan sadar
nikmatnya bercinta. Kami menunggu sampai sama-sama sadar sebelum mengulangi
percintaan semalam.
Apa aku mencintainya? Bagaimana menjabarkan cinta pada dia
yang selama ini kuanggap sebagai sahabat, aku menikmati saat bercinta
dengannya, aku merindukan kepergiaannya, apa aku mencintainya? Entahlah. Kalau kau
tanya pertanyaan ini padanya dia akan tertawa terbahak-bahak, bagaimana mungkin
cinta tumbuh di antara kami?
Dia pernah hilang tanpa pesan selama dua tahun, kupikir dia
sudah mati. Aku mencarinya ke semua teman, kiri kanan kutanyakan tentang
dirinya. Aku menungguinya di kantor, di rumah dan emailku tak pernah ada
balasan. Aku sempat panic sampai akhirnya kuputuskan, dia mungkin sudah mati. Dia
selalu menghilang setelah percakapan tiga puluh menit saat kami berbincang
lewat telepon atau chat room. Tapi tak pernah selama ini. Terakhir dia pamit
untuk berlibur.
Dia datang dengan senyum tanpa merasa bersalah telah
membuatku panic setengah mati dan aku terlalu bahagia untuk bisa memarahinya. Aku
memeluknya erat-erat,”bego, jangan pernah lu pergi tanpa kabar?” dan dia cuma
tersenyum sambil mengelus rambutku.
Lampu hijau di akun facebooknya masih mati. Sudah berkalikali
aku berkunjung ke lamannya hanya untuk menikmati foto-foto yang ada di sana. Aku
menunggu barangkali dalam tiga puluh menit ke depan percakapan kami akan
berulang.
Apa aku mencintainya? Entahlah.