Ah, lebaran paling sepi dalam hidupku.
Saat lebaran pertama tanpa papi, keriaan masih ada di rumah. Paling tidak ada mami, dua saudara, sekeluarga Wa Is dan Pak de, dan tetangga.
Tahun ini,
Mami dan prima ada di Bandung sejak Senin. "Nit, mami berangkat ke Bandung yah, udah masak banyak tuh, tenang aja."
Ah mami, bukan cuma ketupat yang ditunggu, tapi juga hadirmu. Salahku yang membuyarkan rencana kita untuk pergi sekeluarga ke Bandung. Salahku yang memutuskan bekerja di hari raya.
Jadilah, aku di kantor, Lina di rumah pacar, mami di Bandung, papi di kuburan.
Ah sepinya lebaran kali ini.
Tapi teknologi keparat bernama handphone itu memang berguna sekali. Meski jauh dari mami, mohon maaf tetap terjalin.
ah.. andai handphone bisa menghubungkan aku dengan papi.
Tuesday, October 24, 2006
Sunday, October 22, 2006
Merenunglah Lelaki
Tulisan ini gue kutip untuk mengingat, betapa busuknya poligami tanpa alasan tepat!!!
"Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah
"Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.
Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.
DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah
Saturday, October 21, 2006
Masih Mencari
Gue ga kemana-mana sebenarnya tapi hanya sebagian dari gue sedang merantau. Maaf jika manusia yang satu ini can't stay put. Gue sedang berenang mencari kehangatan air, gue sedang terbang bermigrasi mencari nasi.
Sudah pernah gue bilang, gue ini belum menemukan satu tempat yang namanya rumah. Tempat gue membuat sarang dan beranak pinak, menjadi gendut dan beruban. Berongkang ongkang kaki di kursi goyang dengan kacamata baca supertebal.
Rumah yang gue cari cukup sederhana, tawaran kedamaian didalamnya. Wangi kasih sayang, rumah yang pintunya selalu terbuka untuk berkarya dan beristirahat. Merebah kepala diatas nyaman bantal dan juga dada hangat.
Rumah yang didalamnya ada sebuah penghargaan untuk setiap karya. Rumah yang bisa membuat nyaman sehingga otak ini bisa terus bekerja dengan tenang. Rumah bukan kandang.. Rumah bukan penjara. Rumah dan bukan file cabinet.
Bisa tawarkan itu ke gue? hingga gue tak perlu lagi berlari, terbang dan berenang mencari nasi di rumah yang lain??
Sudah pernah gue bilang, gue ini belum menemukan satu tempat yang namanya rumah. Tempat gue membuat sarang dan beranak pinak, menjadi gendut dan beruban. Berongkang ongkang kaki di kursi goyang dengan kacamata baca supertebal.
Rumah yang gue cari cukup sederhana, tawaran kedamaian didalamnya. Wangi kasih sayang, rumah yang pintunya selalu terbuka untuk berkarya dan beristirahat. Merebah kepala diatas nyaman bantal dan juga dada hangat.
Rumah yang didalamnya ada sebuah penghargaan untuk setiap karya. Rumah yang bisa membuat nyaman sehingga otak ini bisa terus bekerja dengan tenang. Rumah bukan kandang.. Rumah bukan penjara. Rumah dan bukan file cabinet.
Bisa tawarkan itu ke gue? hingga gue tak perlu lagi berlari, terbang dan berenang mencari nasi di rumah yang lain??
Subscribe to:
Posts (Atom)