Saya sedang curhat malam ini dengan teman bagaimana saya tak lagi punya rencana hidup jika mimpi terakhir tak bisa terwujud. Mungkin saya akan melalui hari tanpa lagi mimpi dan rasa. Tibatiba teman saya bicara “gue pengen hentikan waktu barang sebentar saja. Berhenti berpikir, berhenti merasa, berhenti saja pokoknya...”
Saya jadi ingat bagaimana seorang teman dalam khotbah onlinenya bilang, andai hidup ini adalah komputer yang bisa kamu ctrl+alt+del, lalu akan me-restart. Lalu saya mau kembali kemana?
Saya tak ingin kembali ke masa lalu meski itu indah *tuingtuing muka mahkluk itu muncul lagi*. Saya mungkin cuma meminta bisa menghentikan sejenak waktu untuk diam dan berhenti berpikir, merasa apalagi bekerja. Rutinitas tak lebih membuat saya menjadi robot.
Dalam novel yang sedang saya baca bercerita di saat mobil ford pertama kali dibuat, sejak itulah hidup manusia terkendali mesin. Makin cepat bekerja dalam hitungan detik. Mengetik 10 jari sekian detik, memotong klip sepersekian detik, membacakan laporan satu menit tiga puluh detik. Sampai tidur pun orang berhitung bahwa 6 jam adalah yang ideal. Manusia, oke saya lah, tak bisa pisah dari hitungan detik durasi dan sekarang rupiah.
Saya bermimpi untuk berhenti barang sejenak, tak terukur pada detik atau menit, hanya sebentar saja sampai saya rasa cukup untuk memulainya kembali.
Maka ketika teman saya bilang berhentilah bekerja barang sebentar untuk ide itu bisa keluar, langsung saya bilang tak bisa. Saya tak bisa berhenti ketika sudah memulai. Ide itu harus dikeluarkan tanpa menunggu mood. Jangan biasakan diri terkendali mood karena orang akan cenderung jadi pemalas alih alih mood belum datang maka wajar tak lanjutkan kerja. Pheww mana bisa begitu.
Lihat lah saya, robot yang bekerja dengan kendali durasi. Saya tak bisa merestart hidup saya sekarang. Jika mimpi terakhir tak lagi berwujud, saya rasa manusia dalam diri hanya akan kembali menjadi robot kaku dalam kendali durasi. Bangun, bekerja, bergerak, tersenyum, bicara, bercinta dan tertidur. Robot tanpa crlt+alt+del.
Thursday, July 30, 2009
Friday, July 24, 2009
Lelaki Dalam Bejana Kuning
Bukan tentang sihir dalam dunia seribu satu malam. Ini cerita cinta seorang perempuan pada lelaki yang terperangkap dalam bejana kuning. Maaf.. bukan terperangkap tapi dia sendiri yang memilih bejana kuning itu sebagai rumahnya, kemarin, kini dan akan datang. Perempuan itu datang terlambat untuk meyakinkan lelaki itu pada rumah yang lain.
Kini, perempuan itu hanya bisa memandang bejana kuning. Melihat cintanya terangkap didalam sana. Hanya bisa membaca bibir.. ”saya juga mencintaimu”. Saling menatap, saling merasa, tapi tak bisa menyentuh.
Bejana itu tebal, tak terpecahkan meski dengan palu maha besar dan kuat. Sinar kuning memancar dari bejana atau entah dari tubuh lelaki itu. Dia tak malang. Dia memilih sendiri bejana itu sebagai tempat tinggalnya, kini dan nanti.
Perempuan itu pernah berulang kali mengelus lembut bejana, berharap kepulan asap akan membawa lelaki itu keluar. Nihil. Perempuan itu pernah mendekap tidur bejana kuningnya, berharap lelaki itu bisa nyata meski hanya dimimpi. Hanya mimpi. Perempuan itu menggosok kasar, mengguncang bejana, lelaki didalamnya hanya berteriak, yang hanya bisa dibaca bibir, untuk perempuan itu menghentikannya.
Perempuan itu membawa bejana kemanapun dia pergi. Bercerita tentang apa yang ada di hatinya, di pikirannya, di dunianya. Menempatkan bejana di tempat duduk bayi dalam mobil, agar lelaki itu bisa melihat apa yang dilihatnya. Terjebak macet, mengantri di ATM, sampai makan di restoran cepat saji. Perempuan itu tak peduli pada orang lain yang menganggapnya gila. Dia tahu betul, cintanya pada lelaki dalam bejana kuning sudah membawanya ke dunia baru yang benar-benar menyenangkannya.
Berulangkali lelaki dalam bejana kuning itu memaksa perempuan meninggalkannya. Karena cinta mereka tak akan bersatu. Dalam bahasa bibirnya lelaki itu meminta perempuan membuang bejananya ke laut hingga dia akan mengambang ke dunia lain. Jauh dari cintanya. Perempuan itu hanya menangis dan menangis.
Buat dia membuang bejana itu sama dengan membuang hidupnya sendiri. Meski tak bisa membuat lelaki itu hadir nyata dan menyentuh kulitnya, lelaki itu memberinya hidup, cinta dan cita. Mereka masih berbagi cinta meski terhalang bejana. Berbagi nafsu, saling menyenangkan diri sendiri, berhadapan. Cinta itu hidup diantara bejana kuning.
Kini, perempuan itu hanya bisa memandang bejana kuning. Melihat cintanya terangkap didalam sana. Hanya bisa membaca bibir.. ”saya juga mencintaimu”. Saling menatap, saling merasa, tapi tak bisa menyentuh.
Bejana itu tebal, tak terpecahkan meski dengan palu maha besar dan kuat. Sinar kuning memancar dari bejana atau entah dari tubuh lelaki itu. Dia tak malang. Dia memilih sendiri bejana itu sebagai tempat tinggalnya, kini dan nanti.
Perempuan itu pernah berulang kali mengelus lembut bejana, berharap kepulan asap akan membawa lelaki itu keluar. Nihil. Perempuan itu pernah mendekap tidur bejana kuningnya, berharap lelaki itu bisa nyata meski hanya dimimpi. Hanya mimpi. Perempuan itu menggosok kasar, mengguncang bejana, lelaki didalamnya hanya berteriak, yang hanya bisa dibaca bibir, untuk perempuan itu menghentikannya.
Perempuan itu membawa bejana kemanapun dia pergi. Bercerita tentang apa yang ada di hatinya, di pikirannya, di dunianya. Menempatkan bejana di tempat duduk bayi dalam mobil, agar lelaki itu bisa melihat apa yang dilihatnya. Terjebak macet, mengantri di ATM, sampai makan di restoran cepat saji. Perempuan itu tak peduli pada orang lain yang menganggapnya gila. Dia tahu betul, cintanya pada lelaki dalam bejana kuning sudah membawanya ke dunia baru yang benar-benar menyenangkannya.
Berulangkali lelaki dalam bejana kuning itu memaksa perempuan meninggalkannya. Karena cinta mereka tak akan bersatu. Dalam bahasa bibirnya lelaki itu meminta perempuan membuang bejananya ke laut hingga dia akan mengambang ke dunia lain. Jauh dari cintanya. Perempuan itu hanya menangis dan menangis.
Buat dia membuang bejana itu sama dengan membuang hidupnya sendiri. Meski tak bisa membuat lelaki itu hadir nyata dan menyentuh kulitnya, lelaki itu memberinya hidup, cinta dan cita. Mereka masih berbagi cinta meski terhalang bejana. Berbagi nafsu, saling menyenangkan diri sendiri, berhadapan. Cinta itu hidup diantara bejana kuning.
Wednesday, July 01, 2009
jumpalitan dalam angka
papi saya yang bermata sipit itu bisa tibatiba memaksa melotot (meski tak pernah berhasil) kalau saya atau adik saya bilang "tidak tahu" ketika ditanya, dalam soal apapun juga. buat papi, tidak ada satu pun hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan. padahal pernah saya coba bilang kalau dalam agama kita aja pap ada ta'a budi dan ta'a kuli, ah pasti saya salah tulisnya, yang artinya ada yang bisa dijelaskan dengan akal dan ada yang tidak. tapi toh, buat papi hal itu tak berlaku, buat dia semua ada jawabannya.
ketika bergabung dengan kbr68h, saya bertemu dengan alif imam, senior, atasan saya yang modalnya sok tahu, lebih banyak sih dia tahu, terutama dalam hal sepakbola. satu kali dia maksa ikutan siaran olahraga dan dalam satu sesi dia menyebutkan "siapa GUARD untuk tim kesebelasan anu..." yang dia maksud adalah pemain belakang, defender. saya selalu mengagumi orang ini karena selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan.. mirip papi saya.
saya sendiri, lebih banyak menghindari pertanyaan yang saya tak yakin tahu jawabannya. termasuk untuk urusan keuangan. nilai ekonomi saya waktu sekolah dulu memang delapan, tapi matematika saya cuma enam, malah kelas satu sma sempat merah hehehe. seingat saya baru sekali dapat ponten sepuluh ketika kelas dua sma untuk ulangan. sempat saya tempel di tembok tempat tidur, pamer ke papi kalau saya sudah pandai berhitung.
karena lemah soal angka juga saya pilih ilmu sosial, kekuatan saya di mulut, saya pintar ngemeng, kata semua orang, nita itu diamnya cuma pas tidur... eh tunggu dulu kata mami dalam tidur pun saya suka mengigau. saya selalu menghindari angka, meski nilai geografi untuk menghitung jarak bintang ke bumi, saya tetap jagoan :-).
ketika masuk dunia kerja, adik saya memilih bekerja di bagian keuangan, saya jadi jurnalis. semua isu, boleh lah dikuasai, saya sempat hafal semua pemain bola, transfer pemain, peringkat klasemen dan sebagainya, tapi jangan suruh saya ke departemen keuangan atau di BEJ. meski saya akhirnya sempat kebagian kesana juga, perut mulas, keringat panas dingin, karena saya tahu betapa desimal itu sangat berarti di bagian keuangan.
ketika dipercaya mengelola green radio, saya selalu berlindung dibelakang pak pamungkas, bos saya untuk urusan menghitung angka. jangan saya disuruh ngitung berapa harga permenit air time kita, berapa pajak yang harus dibayar, bagaimana mengurus MO dengan klien dan sebagainya. saya akan menjerit ketakutan. suruh saya mengurus ratusan orang untuk kegiatan off air, saya pasti bisa.
setelah pak pamungkas tak ada, saya dipaksa mencintai angka. pelan-pelan saya belajar berhitung lagi, berapa keuntungan kami dari sebuah kerjasama, apa itu pajak ppn dan pph, bagaimana bernegosiasi soal angka dengan klien. hey bagaimana meredam kesal dengan senyum saat bernegosiasi.
hasilnya, di otak saya cuma uang sekarang. bagaimana mencapai kekayaan yang cukup untuk memakmurkan sekeliling saya. hasil belajar dari sebuah novel tentang perempuan dan uang, saya tak takut lagi untuk bilang, iya saya perempuan materialistis karena hidup saat ini dihitung dengan uang.
kalau saya tak kenal papi, alif dan pak pamungkas juga mas tosca yang memaksa saya untuk belajar dan keluar dari ketakutan akan angka dan ketidaktahuan, saya masih jadi orang yang selalu berlindung dibelakang orang lain. saya masih jadi orang yang cuma berpikir ala kuda, hanya pada satu yang diyakininya bisa, tanpa melihat pada ceruk lain dalam hidup.
makasih banyak yaaaaa.....
ketika bergabung dengan kbr68h, saya bertemu dengan alif imam, senior, atasan saya yang modalnya sok tahu, lebih banyak sih dia tahu, terutama dalam hal sepakbola. satu kali dia maksa ikutan siaran olahraga dan dalam satu sesi dia menyebutkan "siapa GUARD untuk tim kesebelasan anu..." yang dia maksud adalah pemain belakang, defender. saya selalu mengagumi orang ini karena selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan.. mirip papi saya.
saya sendiri, lebih banyak menghindari pertanyaan yang saya tak yakin tahu jawabannya. termasuk untuk urusan keuangan. nilai ekonomi saya waktu sekolah dulu memang delapan, tapi matematika saya cuma enam, malah kelas satu sma sempat merah hehehe. seingat saya baru sekali dapat ponten sepuluh ketika kelas dua sma untuk ulangan. sempat saya tempel di tembok tempat tidur, pamer ke papi kalau saya sudah pandai berhitung.
karena lemah soal angka juga saya pilih ilmu sosial, kekuatan saya di mulut, saya pintar ngemeng, kata semua orang, nita itu diamnya cuma pas tidur... eh tunggu dulu kata mami dalam tidur pun saya suka mengigau. saya selalu menghindari angka, meski nilai geografi untuk menghitung jarak bintang ke bumi, saya tetap jagoan :-).
ketika masuk dunia kerja, adik saya memilih bekerja di bagian keuangan, saya jadi jurnalis. semua isu, boleh lah dikuasai, saya sempat hafal semua pemain bola, transfer pemain, peringkat klasemen dan sebagainya, tapi jangan suruh saya ke departemen keuangan atau di BEJ. meski saya akhirnya sempat kebagian kesana juga, perut mulas, keringat panas dingin, karena saya tahu betapa desimal itu sangat berarti di bagian keuangan.
ketika dipercaya mengelola green radio, saya selalu berlindung dibelakang pak pamungkas, bos saya untuk urusan menghitung angka. jangan saya disuruh ngitung berapa harga permenit air time kita, berapa pajak yang harus dibayar, bagaimana mengurus MO dengan klien dan sebagainya. saya akan menjerit ketakutan. suruh saya mengurus ratusan orang untuk kegiatan off air, saya pasti bisa.
setelah pak pamungkas tak ada, saya dipaksa mencintai angka. pelan-pelan saya belajar berhitung lagi, berapa keuntungan kami dari sebuah kerjasama, apa itu pajak ppn dan pph, bagaimana bernegosiasi soal angka dengan klien. hey bagaimana meredam kesal dengan senyum saat bernegosiasi.
hasilnya, di otak saya cuma uang sekarang. bagaimana mencapai kekayaan yang cukup untuk memakmurkan sekeliling saya. hasil belajar dari sebuah novel tentang perempuan dan uang, saya tak takut lagi untuk bilang, iya saya perempuan materialistis karena hidup saat ini dihitung dengan uang.
kalau saya tak kenal papi, alif dan pak pamungkas juga mas tosca yang memaksa saya untuk belajar dan keluar dari ketakutan akan angka dan ketidaktahuan, saya masih jadi orang yang selalu berlindung dibelakang orang lain. saya masih jadi orang yang cuma berpikir ala kuda, hanya pada satu yang diyakininya bisa, tanpa melihat pada ceruk lain dalam hidup.
makasih banyak yaaaaa.....
Subscribe to:
Posts (Atom)