Thursday, August 18, 2011

Jangan Poligami, Please….

Maka bertemulah saya dengan seorang perempuan terpelajar lulusan luar negeri dengan title doctor yang mempromosikan poligami itu baik adanya untuk mendekatkan perempuan kepada Allah. Allah adalah Tuhan yang maha besar, Dia layak mendapatkan pelayanan umatnya dari banyak cara, tanpa harus lewat poligami.

Perempuan itu duduk di sebelah saya. Mungkin dia bisa menebak air muka saya yang tidak terkesan ketika dia bicara panjang lebar pada teman saya tentang indahnya poligami.

Dia lalu bertanya,”menurutmu gimana tadi penjelasan saya?.”

Saya,”bagian yang mana ya bu?”

Dia yang bersuara lembut itu pun cuma tersenyum. Saya mengerti arah pertanyaannya.

Saya tahu berdebat tentang landasan agama dengannya adalah kesia-siaan, pun saya bukan ahli soal agama. Inilah yang paparkan pada si perempuan pendukung poligami itu.

***

Usia saya kira-kira baru 5 atau 6 tahun. Terlalu kecil sebenarnya untuk mengingat sesuatu dan saya tidak ingat banyak tentang masa itu kecuali sebuah pertanyaan tetangga,”papimu kemana nit? Ke mami mu yang di lebak bulus yah?”

Yang saya ingat adalah saya menangis pulang dan bertanya pada mami saya,”emangnya nita punya mami lain mam?

Mami nita kan cuma mami ya kan?”

Seingat saya mami menangis untuk pertanyaan itu.

Usia saya sekarang 33 tahun, tapi kenangan tentang pertanyaan, reaksi saya dan mami melekat terus sampai hari ini. Lalu kenangan tentang perempuan yang teryata “mami yang lain” itu muncul sepotong-sepotong.

Tidak mudah bagi saya untuk menerima kenyataan bahwa mami saya ada dua orang. Kenyataan bahwa mami saya adalah yang kedua, tetangga yang mencibir mami karena dianggap mencuri suami orang dan saya adalah anak mereka, ketakutan kakak saya dari mami pertama akan membenci saya, itu semua menghantui saya sepanjang hidup. Bahkan sampai saya menuliskan ini.

Baru di bangku SMP seingat saya ketika mami yang akhirnya saya tahu adalah untuk kesekian kalinya meminta cerai pada papi saya. Pulang sekolah saat itu ketika papi meminta saya dan adik saya memilih mau tinggal dengan siapa, mami atau papi. Yang saya ingat, saya menangis sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin memilih karena saya menyayangi keduanya dengan sangat. Alasan mami meminta cerai adalah karena papi menikah untuk ketiga kalinya.

Saya sama sekali tidak membenci papi karena dia selalu adalah ayah terbaik yang pernah ada. Papi selalu ada untuk kami, untuk saya yang menjadi anak terdekatnya meski selalu berdebat tentang apapun seperti remote tv.

Tapi saya tahu mami menderita. Satu-satunya alasan kenapa dia bertahan dalam rumah tangga poligami adalah kami anak-anaknya, dia takut kami tidak bisa sekolah tinggi dan kehilangan figure ayah. Bertahan atau bercerai, in the end adalah buruk bagi kami… anak-anak mereka.

Poligami papi tentu saja terjadi sampai beliau meninggal dunia 2003 lalu. Saat itulah untuk pertama kalinya kesebelasan anaknya berkumpul. Itu pun masih diwarnai pertengkaran hebat tentang siapa yang berhak menentukan dimana papi akan dimakamkan. Ketika itu saya ingat betul, saya berdiri di tengah rapat keluarga besar dengan melayangkan telunjuk saya berteriak,”ANJING kalian semua, papi sakit ga ada satu pun peduli merawat, sekarang papi mati semua merasa perlu berjasa. Tidak ada yang boleh menyentuh papi kecuali GUE.”

Mami pertama pingsan, mami saya menangis sejadi-jadinya.

Anyway, saya tidak tahu bagaimana cara papi membagi waktu bagi ketiga keluarga yang dia bangun sementara kami tinggal di rumah berbeda. Kalau kejadiannya hari ini ketika Jakarta macet tentu papi saya ga jadi hebat dalam manajemen waktu.

Kami anak-anak papi ada 13 ekor. Tidak pernah terlintas sedikit pun apa jadinya kalau dulu kami berada di satu rumah besar dengan tiga mami. Tapi saya yakin masalahnya tetap sama, kami pun tidak akan rela berbagi ayah dan menerima kenyataan mami kami menderita.

Jadi kenapa kami, anak-anak ini tidak pernah ditanya dan dimintai persetujuan ketika ayah memutuskan poligami dan ibu akhirnya memutuskan menerima. Kami anak-anak poligami ini sama sakitnya, sama menderita sekalipun ayah ada dimana kami butuhkan.

***

Saya,”begitulah ibu. Saya menentang poligami karena saya tahu persis rasanya hidup dalam keluarga poligami. Saya tidak bicara atas nama ibu saya, tapi ini dari sisi saya, anak.”

Lalu perempuan ibu berkata,”Subhannallah. Jika semua dijalankan dijalan Allah, semua akan baik adanya.”

Say WHAT?? Sekarang dia bilang ayah saya salah dan berdosa karena poligami tidak dijalan Allah.. oh yeah great…

Saya sekali lagi menahan diri, percuma berdebat soal agama ketika hatinya tidak pada nilai manusia dan pemujaan tanpa isi kepala.

Untuk papi di alam baka, papi tercinta yang mengajarkan saya tentang hal paling berharga sepanjang masa, kasih sayang. Tidak ada secuil pun niat menuliskan ini untuk mengumbar “aib” keluarga. Yang saya inginkan adalah para lelaki dan perempuan tolong jaga perasaan anak-anak anda. Tolong, I’m begging you not to be a selfish parent.

Untuk mami, I love you with all of my hearts. Tidak ada kata “Tidak” untuk apa pun yang mami pinta dari saya. Saya tidak bisa menyembuhkan sedih mami terdahulu, tapi saya yakin bisa membuat mami bahagia sekarang dan nanti.

Writing Is Good For Your Soul… I’m kind of relieving now… semoga berguna.

1 comment:

Blackriders said...

Whatta story... Perjalanan hidup yg benar2 hanya bisa dilalui oleh orang2 pilihan bermental sangat tangguh. Salut buat Nita untuk tulisan ini. Rasa emosionalnya benar2 dapet. Two thumbs up for you :-)