This girl wants to fly away above the sky,
leave all the memories and the stories behind,
and find a home of her own.
This girl wants to die to forget the hurts that hide inside,
if life gives nothing but pain,
why not starting to get herself insane.
This girl needs to be loved,
from the one that she wants,
the one that she will never had.
Sunday, October 28, 2007
Tuesday, October 23, 2007
Cuma Kangen
Kangen itu manusiawi sekali. Bukan manusia namanya yang tidak menerima perasaan manusiawi itu.
Barangkali memang salah gue menempatkan perasaan itu pada bukan manusia. Hatinya batu!
Kata orang sekeras apapun batu akan lapuk dengan tetesan air yang konsisten, sekeras apapun hati akan melunak dengan cinta. Well, it wont work with him!
Dia bukan manusia. Hatinya keras melebihi batu, otaknya tak bisa menyimpan memori indah kecuali hitungan logika. Salah gue mencintai robot.
Sakit perut gue sesakit hati ini. Kalau perut bisa keluar sama mencret, hati gue sudah ga bisa bikin mata ini nangis.
I hate to love him. Hate can turn to love as my love is turning to be hate.
Barangkali memang salah gue menempatkan perasaan itu pada bukan manusia. Hatinya batu!
Kata orang sekeras apapun batu akan lapuk dengan tetesan air yang konsisten, sekeras apapun hati akan melunak dengan cinta. Well, it wont work with him!
Dia bukan manusia. Hatinya keras melebihi batu, otaknya tak bisa menyimpan memori indah kecuali hitungan logika. Salah gue mencintai robot.
Sakit perut gue sesakit hati ini. Kalau perut bisa keluar sama mencret, hati gue sudah ga bisa bikin mata ini nangis.
I hate to love him. Hate can turn to love as my love is turning to be hate.
Monday, October 22, 2007
Dhani Majnun
Kalau mau Poligami izin itu harus keluar dari istri pertama, bukan dari nyokap dong. Ah mana ada perempuan yang mau dimadu, bohong aja itu.
Kemudian suami yang baik, adalah suami yang bisa menutupi kesalahan istri dan tidak mengumbarnya ke publik.
Dan ini yang paling menyakitkan, kenapa harus mencari dalil agama untuk membenarkan syahwat yang berlebihan itu! Apakah hanya dia yang paling tahu soal kebenaran agama? Janganlah bawa-bawa agama untuk kepentingan pribadi. Aa Gym pun tak bertahan sukses dengan dalil agama yang dibawanya ketika membenarkan syahwat yang berkembang.
Ah, Majnun Majnun
===================================================================
"Karena cerai itu dilarang sama agama, dibenci Tuhan, daripada cerai mendingan saya kawin lagi, berpoligami disahkan secara Islam," ujar Dhani yang mengaku sudah mendapat restu dari ibunya untuk menikah lagi
"Maia di mata saya sudah sangat hina. Kalau memang bisa dipersatukan, derajatnya sudah beda. Untuk menyamakan derajatnya itu, harus menambah satu lagi (poligami-red). Biar sama," ucapnya blak-blakkan.
"Udah nggak berhubungan badan sejak 17 November tahun lalu," ungkap Dhani. Menurutnya, tindakan itu adalah sebagai hukuman terhadap Maia. Istri yang tak tunduk pada suami.
Kemudian suami yang baik, adalah suami yang bisa menutupi kesalahan istri dan tidak mengumbarnya ke publik.
Dan ini yang paling menyakitkan, kenapa harus mencari dalil agama untuk membenarkan syahwat yang berlebihan itu! Apakah hanya dia yang paling tahu soal kebenaran agama? Janganlah bawa-bawa agama untuk kepentingan pribadi. Aa Gym pun tak bertahan sukses dengan dalil agama yang dibawanya ketika membenarkan syahwat yang berkembang.
Ah, Majnun Majnun
===================================================================
"Karena cerai itu dilarang sama agama, dibenci Tuhan, daripada cerai mendingan saya kawin lagi, berpoligami disahkan secara Islam," ujar Dhani yang mengaku sudah mendapat restu dari ibunya untuk menikah lagi
"Maia di mata saya sudah sangat hina. Kalau memang bisa dipersatukan, derajatnya sudah beda. Untuk menyamakan derajatnya itu, harus menambah satu lagi (poligami-red). Biar sama," ucapnya blak-blakkan.
"Udah nggak berhubungan badan sejak 17 November tahun lalu," ungkap Dhani. Menurutnya, tindakan itu adalah sebagai hukuman terhadap Maia. Istri yang tak tunduk pada suami.
Sunday, October 21, 2007
Fact Checking!
Ketika Syamsul Bahri calon anggota KPU ketahuan menjadi tersangka kasus Kigumas, DPR terus menerus menyalahkan Pemerintah. Alasannya kan pemerintah yang memasukan daftar nama calon anggota KPU dalam proses verifikasi. Lucu yah... yang bertugas melakukan uji kelayakan dan kepatutan termasuk memverifikasi kemampuan si Syamsul menjadi anggota KPU, kan DPR. Disana tempatnya mencari tahu kebenaran dan kelayakan... kenapa ga di "fact-checking"... begini neh kalau punya anggota DPR isinya bercanda ketika tugas. Walah atau barangkali anggota DPR ga tahu apa tugas verifikasi itu... ck ck ck....
Jelas ga perlu disahkan lah kalau memang menjadi tersangka. Tapi lempar bodynya itu loh. hmmm jadi mengingatkan gue pada sejumlah kasus yang sering terjadi disekeliling, barangkali tanpa disadari.
Kita ambil contoh, di perusahaan tempat teman gue bekerja, seorang reporternya berbuat kesalahan sehingga dikomplen sama audience. Ketika komplen muncul, si reporter dipojokin, bego dasar bego, kenapa ga akurat datanya. Padahal sistem kerja sebuah berita, sebuah tayangan tidak begitu dong. Ini bukan tanggung jawab seorang.... Dari reporter kemudian editor. Seorang reporter yang baik harus fact-checking kembali bahan yang sudah didapat. Kemudian disusun dengan baik baru diberikan kepada editor, produser atau apalah namanya. Disana itu bahan tayangan tidak serta merta naik, kan ada proses editing, bukan cuma edit tulisan, baik atau tidak bahasanya, titik koma benar atau tidak. Terlebih dari itu, fact checking... duh elah. Lupa sama barang penting ini....
Jadi kalau ada kesalahan soal data, ini bukan semata-mata kesalahan reporter. Ketika komplen datang, yang maju ya editor/produser bukan coro seperti reporternya. Kan gawang terakhir dari sebuah proses output ada disana, kenapa harus muter-muter lewat pintu belakang.
Inget film "Shattered Glass"? editornya Michael Kelly membantu si pengkhayal Glass menutupi kesalahan data dalam artikelnya di The New Republic tahun 1990an (ini cerita bener), sampai akhirnya dia dipecat karena hal itu. Editor Lane yang menggantikan Kelly akhirnya menemukan kesalahan fatal dari Glass. Setelah itu seluruh staf meminta maaf kepada para pembaca atas kesalahan dalam artikel yang pernah ditulis Glass.
Pheww... kalau saja semua tau tugasnya masing-masing tentu hal sepele macam begini ga perlu kejadian... Termasuk di gedung Parlemen terhormat itu. Akui saja , anda salah tidak melakukan verifikasi dengan benar, bahkan tidak ngerti verifikasi itu apaan... Cape deh kalau punya wakil rakyat beginian.
Jelas ga perlu disahkan lah kalau memang menjadi tersangka. Tapi lempar bodynya itu loh. hmmm jadi mengingatkan gue pada sejumlah kasus yang sering terjadi disekeliling, barangkali tanpa disadari.
Kita ambil contoh, di perusahaan tempat teman gue bekerja, seorang reporternya berbuat kesalahan sehingga dikomplen sama audience. Ketika komplen muncul, si reporter dipojokin, bego dasar bego, kenapa ga akurat datanya. Padahal sistem kerja sebuah berita, sebuah tayangan tidak begitu dong. Ini bukan tanggung jawab seorang.... Dari reporter kemudian editor. Seorang reporter yang baik harus fact-checking kembali bahan yang sudah didapat. Kemudian disusun dengan baik baru diberikan kepada editor, produser atau apalah namanya. Disana itu bahan tayangan tidak serta merta naik, kan ada proses editing, bukan cuma edit tulisan, baik atau tidak bahasanya, titik koma benar atau tidak. Terlebih dari itu, fact checking... duh elah. Lupa sama barang penting ini....
Jadi kalau ada kesalahan soal data, ini bukan semata-mata kesalahan reporter. Ketika komplen datang, yang maju ya editor/produser bukan coro seperti reporternya. Kan gawang terakhir dari sebuah proses output ada disana, kenapa harus muter-muter lewat pintu belakang.
Inget film "Shattered Glass"? editornya Michael Kelly membantu si pengkhayal Glass menutupi kesalahan data dalam artikelnya di The New Republic tahun 1990an (ini cerita bener), sampai akhirnya dia dipecat karena hal itu. Editor Lane yang menggantikan Kelly akhirnya menemukan kesalahan fatal dari Glass. Setelah itu seluruh staf meminta maaf kepada para pembaca atas kesalahan dalam artikel yang pernah ditulis Glass.
Pheww... kalau saja semua tau tugasnya masing-masing tentu hal sepele macam begini ga perlu kejadian... Termasuk di gedung Parlemen terhormat itu. Akui saja , anda salah tidak melakukan verifikasi dengan benar, bahkan tidak ngerti verifikasi itu apaan... Cape deh kalau punya wakil rakyat beginian.
Thursday, October 18, 2007
Perempuan, Bola dan TV
Semalam gue nonton pertandingan sepakbola di ANTV, Khazakztan vs Portugal untuk kualifikasi piala eropa 2008. Isi tayangan diluar pertandingan itu adalah dua pembawa acara laki-laki dan perempuan serta dua orang komentator. Yang membuat gue risih adalah penempatan si pembawa acara perempuan ditayangan sepakbola itu. Dia tampil sangat feminim dengan riasan full, bergaun malam, fungsinya sepanjang tayangan cuma jadi penggembira si tiga laki-laki disana. Risih tau ga sih.
Sepanjang acara dia cuma kebagian cengar cengir, bertanya hal yang ga penting dan tidak diberi porsi apapun disana karena pembicaraan soal sepakbola itu sendiri cuma didominasi oleh tiga lelaki itu. Ini kemunduran buat gue ketika si perempuan itu cuma bisa bilang "Uh Ronaldo itu memang ganteng." Ya Ampun, ga penting banget kata-kata itu keluar diacara TV LIVE! simpen aja dalam hati atau saat off air.
Gue ngerasain benar kalau perempuan gemar sepakbola itu ga pernah direken. Analisa perempuan ga pernah diperhatikan karena cuma dianggap ga lebih dari analisa soal body dan tampang si pesepakbola. Mana ada pengamat sepakbola perempuan? padahal untuk jadi pengamat modalnya cuma mengamati, mengerti aturan dan analisa. Apa susahnya! semua bisa dipelajari, ga cuma laki-laki tapi perempuan juga bisa. Tapi mana ada kesempatan perempuan untuk maju di TV yang berfungsi menganalisa selain jadi penggembira, ditaruh diposisi pembawa acara atau pembawa kuis, taelah.... apa hebatnya.
Ketika muncul Tamara Gerandine, Wulan Guritno dan Annisa Pohan, gue masih menilai mereka cerdas dan mau belajar soal sepakbola. Tampil meyakinkan untuk setiap pertanyaan soal analisa pertandingan. Tapi semalam.... gubrak... ini kemunduran! kemunduran!
Menghadirkan perempuan diacara pertandingan sepakbola live itu apa fungsinya? itu dulu deh dijawab. Kalau cuma ingin menarik penonton perempuan, taelah ga penting banget. Perempuan nonton pertandingan bukan komentatornya apalagi pembawa acaranya. Semalam itu pembawa acara perempuan tak lebih cuma jadi penggembira.... untuk siapa? yah untuk para komentator itu kalee.
Sepanjang acara dia cuma kebagian cengar cengir, bertanya hal yang ga penting dan tidak diberi porsi apapun disana karena pembicaraan soal sepakbola itu sendiri cuma didominasi oleh tiga lelaki itu. Ini kemunduran buat gue ketika si perempuan itu cuma bisa bilang "Uh Ronaldo itu memang ganteng." Ya Ampun, ga penting banget kata-kata itu keluar diacara TV LIVE! simpen aja dalam hati atau saat off air.
Gue ngerasain benar kalau perempuan gemar sepakbola itu ga pernah direken. Analisa perempuan ga pernah diperhatikan karena cuma dianggap ga lebih dari analisa soal body dan tampang si pesepakbola. Mana ada pengamat sepakbola perempuan? padahal untuk jadi pengamat modalnya cuma mengamati, mengerti aturan dan analisa. Apa susahnya! semua bisa dipelajari, ga cuma laki-laki tapi perempuan juga bisa. Tapi mana ada kesempatan perempuan untuk maju di TV yang berfungsi menganalisa selain jadi penggembira, ditaruh diposisi pembawa acara atau pembawa kuis, taelah.... apa hebatnya.
Ketika muncul Tamara Gerandine, Wulan Guritno dan Annisa Pohan, gue masih menilai mereka cerdas dan mau belajar soal sepakbola. Tampil meyakinkan untuk setiap pertanyaan soal analisa pertandingan. Tapi semalam.... gubrak... ini kemunduran! kemunduran!
Menghadirkan perempuan diacara pertandingan sepakbola live itu apa fungsinya? itu dulu deh dijawab. Kalau cuma ingin menarik penonton perempuan, taelah ga penting banget. Perempuan nonton pertandingan bukan komentatornya apalagi pembawa acaranya. Semalam itu pembawa acara perempuan tak lebih cuma jadi penggembira.... untuk siapa? yah untuk para komentator itu kalee.
Sunday, October 07, 2007
Pembuka
Bagi seorang penulis kalimat pembuka adalah bagian tersulit dari seluruh tulisan. Pemilihan kalimat harus tepat agar orang bertahan membaca keseluruhan isi. Di buku Tariq Ali, lagi-lagi gue mencontoh pengarang idola gue, tokoh Muhammad Al-Idrisi kesulitan menyelesaikan buku yang sudah disusun selama 11 tahun hanya gara-gara kalimat pembuka. Apa kalimat yang lebih bagus daripada menyebut Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang?
Ternyata kalimat pembuka bukan cuma sulit ditemukan oleh penulis. Termasuk juga pencinta rasa. Kalau salah memilih menu pembuka, bisa-bisa hilang selera makan selanjutnya.
Beberapa hari ini gue kesulitan menemukan pembuka untuk sebuah masalah yang dihadapi. Termasuk untuk sekedar curhat di blog ini. Bisakah gue memulainya dengan kesimpulan, aku telah gagal menjadi orang yang baik. Bisakah kalimat itu keluar tanpa memunculkan pertanyaan berikutnya "kenapa"
Gue ga bisa menjawab pertanyaan sederhana itu, karena sebab tak terungkap, hanya akibat yang kini gue tanggung. Sebabnya sangat pelik, tak akan selesai dalam 15 halaman novel-yang tak pernah selesai itu. Atau mendengarkan cerita gue semalam suntuk. Akumulasi sebuah kehidupan membuat gue pada kesimpulan, aku gagal.
Kalau gue mulai dengan kalimat Aku pencundang, aku telah gagal. Bisakah gue tutup cerita itu dengan kalimat yang sama. Arrgh gue bahkan tidak tahu apa yang sedang gue bicarakan saat ini. Shit
Ternyata kalimat pembuka bukan cuma sulit ditemukan oleh penulis. Termasuk juga pencinta rasa. Kalau salah memilih menu pembuka, bisa-bisa hilang selera makan selanjutnya.
Beberapa hari ini gue kesulitan menemukan pembuka untuk sebuah masalah yang dihadapi. Termasuk untuk sekedar curhat di blog ini. Bisakah gue memulainya dengan kesimpulan, aku telah gagal menjadi orang yang baik. Bisakah kalimat itu keluar tanpa memunculkan pertanyaan berikutnya "kenapa"
Gue ga bisa menjawab pertanyaan sederhana itu, karena sebab tak terungkap, hanya akibat yang kini gue tanggung. Sebabnya sangat pelik, tak akan selesai dalam 15 halaman novel-yang tak pernah selesai itu. Atau mendengarkan cerita gue semalam suntuk. Akumulasi sebuah kehidupan membuat gue pada kesimpulan, aku gagal.
Kalau gue mulai dengan kalimat Aku pencundang, aku telah gagal. Bisakah gue tutup cerita itu dengan kalimat yang sama. Arrgh gue bahkan tidak tahu apa yang sedang gue bicarakan saat ini. Shit
Subscribe to:
Posts (Atom)