Ketika saya beranjak remaja dan mulai kenal kongkow dengan
teman-teman sesama abegeh makan di AHA restaurant, papi saya pesan,”kalau ga
punya uang jangan pernah ngajak temen pergi. Karena yang ngajak itu yang
mestinya bayar.” Jadi karena keterbatasan uang saku, saya jarang sekali kongkow
di restaurant kecuali lagi kecipratan rezeki luar biasa dari keluarga jauh.
Ketika mulai kerja dan kenal pacaran, lain lagi ceritanya. Kata
mami,”meski itu pacar kamu, jangan mau dibayarin. Bayar sendiri-sendiri atau
patungan.”
Dalam kelompok pertemanan saya, kami nyaris tak pernah hitungan.
Ketika kongkow bareng, siapa saja yang punya uang duluan membayar. Di luar restaurant,
baru kami berbagi tagihan tadi. Atau satu tagihan kami pukul rata… okeh semua
50 rebu, kalau ada sisanya kami beri kepada yang paling dhuafa di antara kami. Atau
bisa banget kalau cuma pergi berdua dengan sahabat saya, kami bagi jatah. Jalan
kali ini saya yang bayar, besok lusa giliran dia… intinya kami tak ingin pelit
lah dalam pertemanan.
2006 saya berkesempatan pergi ke Jerman. Itu kali pertama
saya ke luar negeri. Cari jodoh sekalian aah. Tapi kawan saya Ayu bilang,”jangan
mau sama cowok Jerman. Mereka pelit, disuruh bayar sendiri-sendiri. Percaya deh,
nyesel lu.”
Suatu kali saya diajak pergi dengan teman-teman seangkatan
workshop di DW ke sebuah restaurant Italia di Bonn. Si pelayan perempuan
bermuka gahar sejak awal bertanya,”sendiri-sendiri atau digabung.” Maksudnya? Tanya
saya. Bill-nya mau digabung atau terpisah? Oooo…. Ok dipisah.
Sejak itu saban ada kesempatan jalan dengan kawan-kawan saya
yang berasal dari negara lain, saya sudah siap-siap dengan dana yang cukup. Apa
kata papi saya itu sudah ga berlaku, meski saya yang diajak, tetap aja mesti
bawa uang saku.
Suatu malam saya diajak makan malam oleh kawan dari Jerman,
kami berlima, tiga perempuan dan dua pria. “Malam ini ladies night. Jadi ada
diskon lima puluh persen loh buat cewek-cewek.” Saya sih senang-senang aja ada diskon. Kawan saya
pilih makanan yang menurut saya harganya mahal. Oh iya kawan saya ini adalah
cowok. Usai bincang ngalor ngidul, salah satu cowok di kelompok kami berbisik
pada pelayan di sana,”tagihannya dibikin terpisah yah, lima.”
Jreng…
Tiap kami terima bill masing-masing. Kawan saya
terbengong-bengong karena harus bayar mahal tanpa diskon. Saya intip dompetnya
hanya cukup untuk bayar makanan itu. Mukanya panik. Saya membaca maksudnya,
kalau saja bill itu dibuat satu, tentu semua akan merasakan diskon yang sama…
50% dan dia tak harus membayar lebih mahal hahahaha….
Kembali dengan kawan yang sama, kami makan malam kali ini 11
orang dalam satu meja. Tagihan makanan sampai lebih dari satu juta rupiah. Kali
ini datanglah satu tagihan, alhasil tiga puluh menit terbuang karena berhitung
belanjaan masing-masing. Ada yang membayar dua puluh ribu dengan recehan ala
kenek bus.
Dengan model begini ternyata lebih merepotkan, kawan
terakhir yang berhitung tibatiba di ujung meja berteriak…”oiii siapa yang belum
bayar neh. Masa gue mesti bayar dua ratus rebu sendirian. Hayo ngaku.”
Next time let’s stick to “five bills please”
No comments:
Post a Comment