Wednesday, July 18, 2012

Kangen Surat Berperangko


Usai berkirim e-mail kepada teman di Jerman sana, tiba-tiba saya kangen pada surat berperangko. Kalau saja e-mail saya tadi ditulis di atas selembar kertas dengan tulisan tangan yang pasti sudah acak kadut karena jarang digunakan, tentu jumlahnya bisa berlembar-lembar. Saya bercerita panjang lebar tentang Jakarta yang bakal punya gubernur baru, tentang jalanan yang tetap saja bakal macet siapa pun gubernurnya nanti dan tentang musim kemarau dan hujan yang suka lupa waktu dan tak lagi bisa dibaca. 

Kalau saja kita tak kenal e-mail, tentu surat berlembar-lembar itu sudah saya masukkan ke dalam amplop dengan garis pinggir merah biru dan dilem. Besok pagi saya akan mampir ke kantor pos, beli perangko senilai dua puluh ribu, menempelkannya di sudut kanan amplop dan berkata pada penjaga loketnya, “Pak, pastikan sampai ya.”

Lalu saya akan menunggu dengan sabar, seminggu, dua minggu, berbulan-bulan sampai kembali menerima balasan dengan amplop tertutup, perangko dari Jerman dengan stempel posnya yang saya akan lepaskan dari amplop bahkan sebelum membaca isi suratnya. Mengumpulkan perangko dari luar negeri pernah dalam satu masa hidup saja menjadi hobi yang paling menyenangkan. 

Barangkali menunggu surat berperangko itu adalah kegiatan menunggu yang paling tidak menjemukan karena  dipenuhi rasa penasaran akan isi di dalamnya, terlebih saya akan punya koleksi perangko terbaru.

Saya kangen surat berperangko.

Pak Pos di tempat tinggal saya dulu di Pondok Pinang adalah orang yang sama sejak sama masih duduk di kelas empat SD. Saat itu saya cuma menerima surat dari Bi Cucu di Bandung bersama paket yang isinya selalu bikin saya tersenyum, baju baru. Beranjak kelas lima dan seterusnya, berkirim surat jadi hobi baru, bisa curhat dengan sahabat pena dari seluruh Indonesia. Tentang mimpi saya keliling dunia, tentang kejenuhan sekolah bahkan sampai saat kesal dimarahi mami papi. Surat paling berkesan yang pernah saya kirim adalah untuk Jordan Knight dari New Kids On The Block di fans club nya di Boston, ga dibalas tentu saja.

Sekarang surat-surat yang sampai lewat pos cuma tagihan, itu pun dengan perangko berlangganan, sama sekali tak menarik untuk dikoleksi apalagi dibaca ulang. Sedangkan tulisan tangan yang dulu bisa konsisten bentuknya sampai berlembar-lembar, sekarang tampak menjijikan, bahkan lebih buruk dari tulisan dokter. Kenapa kita tak lagi berlatih menulis pakai tangan, kemana ilmu menulis halus dengan buku garis tiga yang diajarkan sepanjang sekolah dasar dulu?

Ah saya kangen surat berperangko. Hey kawan, mari lakukan itu, biar kutunggu dengan penuh rasa penasaran suratmu.

No comments: