Usai berkirim e-mail kepada teman di Jerman sana, tiba-tiba
saya kangen pada surat berperangko. Kalau saja e-mail saya tadi ditulis di atas
selembar kertas dengan tulisan tangan yang pasti sudah acak kadut karena jarang
digunakan, tentu jumlahnya bisa berlembar-lembar. Saya bercerita panjang lebar
tentang Jakarta yang bakal punya gubernur baru, tentang jalanan yang tetap saja
bakal macet siapa pun gubernurnya nanti dan tentang musim kemarau dan hujan
yang suka lupa waktu dan tak lagi bisa dibaca.
Kalau saja kita tak kenal e-mail, tentu surat
berlembar-lembar itu sudah saya masukkan ke dalam amplop dengan garis pinggir
merah biru dan dilem. Besok pagi saya akan mampir ke kantor pos, beli perangko
senilai dua puluh ribu, menempelkannya di sudut kanan amplop dan berkata pada
penjaga loketnya, “Pak, pastikan sampai ya.”
Lalu saya akan menunggu dengan sabar, seminggu, dua minggu,
berbulan-bulan sampai kembali menerima balasan dengan amplop tertutup, perangko
dari Jerman dengan stempel posnya yang saya akan lepaskan dari amplop bahkan
sebelum membaca isi suratnya. Mengumpulkan perangko dari luar negeri pernah
dalam satu masa hidup saja menjadi hobi yang paling menyenangkan.
Barangkali menunggu surat berperangko itu adalah kegiatan
menunggu yang paling tidak menjemukan karena
dipenuhi rasa penasaran akan isi di dalamnya, terlebih saya akan punya
koleksi perangko terbaru.
Saya kangen surat berperangko.
Pak Pos di tempat tinggal saya dulu di Pondok Pinang adalah
orang yang sama sejak sama masih duduk di kelas empat SD. Saat itu saya cuma menerima
surat dari Bi Cucu di Bandung bersama paket yang isinya selalu bikin saya
tersenyum, baju baru. Beranjak kelas lima dan seterusnya, berkirim surat jadi
hobi baru, bisa curhat dengan sahabat pena dari seluruh Indonesia. Tentang mimpi
saya keliling dunia, tentang kejenuhan sekolah bahkan sampai saat kesal
dimarahi mami papi. Surat paling berkesan yang pernah saya kirim adalah untuk
Jordan Knight dari New Kids On The Block di fans club nya di Boston, ga dibalas
tentu saja.
Sekarang surat-surat yang sampai lewat pos cuma tagihan, itu
pun dengan perangko berlangganan, sama sekali tak menarik untuk dikoleksi
apalagi dibaca ulang. Sedangkan tulisan tangan yang dulu bisa konsisten
bentuknya sampai berlembar-lembar, sekarang tampak menjijikan, bahkan lebih
buruk dari tulisan dokter. Kenapa kita tak lagi berlatih menulis pakai tangan,
kemana ilmu menulis halus dengan buku garis tiga yang diajarkan sepanjang
sekolah dasar dulu?
Ah saya kangen surat berperangko. Hey kawan, mari lakukan
itu, biar kutunggu dengan penuh rasa penasaran suratmu.
No comments:
Post a Comment