Monday, April 12, 2010

Mahalnya Sebuah Kematian

Islam yang saya tahu mengajarkan ketika kita meninggal, hanya akan membawa jiwa dan amal ibadah. Kita telanjang berselimut kafan dan ditanam di dalam tanah. Jiwa menunggu di alam baka sampai saat penghitungan amal itu tiba. Tapi mengantarkan jiwa ke alam baka itu tak semudah dan semurah yang diajarkan agama. Karena tradisi, kebiasaan dan kebutuhan ekonomi bikin semuanya sulit dan mahal.

Suatu hari kawan saya Eric yang tinggal sendirian di kota Wigan cerita bagaimana dia telah menyiapkan pemakaman untuk dirinya sendiri. Dia harus membayar semacam premi asuransi yang akan keluar saat dia meninggal nanti, untuk membiayai pemakamannya, mulai pemandian, pemberkatan sampai penguburan.

Awalnya saya pikir itu gila karena saya hanya tahu tentang asuransi jiwa yang akan jatuh ke ahli waris ketika saya meninggal nanti. Tapi waktu saya menunggui jenazah Pak De di kamar jenazah, disana terpampang besarbesar harga pengurusan kematian. Begini disana tertulis, semoga saya masih ingat angkanya :

Memandikan dan mengkafani Rp 350.000,-
Memandikan, mengkafani dan menyolatkan Rp 750.000,-
Nisan grafis nama Rp sekian juta
Nisan papan Rp sekian ratus ribu
Peti biasa Rp 1.250.000,-
Peti kayu grafis kaligrafi Rp 3.000.000,-
Biaya mengantar jenazah hubungi panitia

Sewaktu papi saya meninggal, tibatiba saya disodori sejumlah proposal angka pengurusan pemakaman. Untuk memandikan, mengkafani dan menyolatkan 800 ribu rupiah. Sementara untuk memesan tanah pemakaman di pemakaman tanah kusir saya harus sedia 3 juta rupiah, malam itu. Untungnya papi punya jatah di pemakaman kepolisian.

Setelah dimakaman, tradisi menganjurkan kita untuk mengadakan pengajian sepanjang 3 hari, 7 hari dan 40 hari. Saban malam sediakan berekat alias bebawaan bagi pengaji, isinya bisa sembako ditambah uang sekitar 25 ribu setiap orang dan untuk sang guru pastinya dua sampai tiga kali lipat. Memang ga ada yang pasang tarif, tapi itu sudah kesepakatan umum, bahwa ga mungkin gratisan.

Jadi silakan dihitung, jika di rumah sakit tempat Pak De saya terbaring tanpa jiwa, setiap harinya menampung 50 orang meninggal dan menggunakan jasa pemakaman mereka, berapa keuntungan yang diraup? Bila punya tanah kosong lalu berlindung atas nama wakaf tapi masih memasang tariff pemeliharaan mulai dari ratusan ribu sampai jutaan, berapa yang didapat pertahun? Punya kelompok ngaji yang tugasnya berkeliling memberikan pengajian disana sini untuk sebuah kematian, berapa orderan yang masuk saban minggu.

Bukan orang Indonesia kalau tidak bilang “untungnya” nah untungnya tradisi memberikan dana belasungkawa itu masih kuat di Indonesia. Saya dan keluarga terang terbantu untuk membiayai tradisi.

Di Cina 8 juta orang meninggal setiap tahunnya, bagaimana di Indonesia, di Jakarta saja deh… hmm…. Bisnis kematian yang menggiurkan.

3 comments:

Kelinci Orange said...

memang sekarang semuanya butuh duid... hidup susah, mati juga masih susah.

gede wahyu said...

wew, baru tau detailnya seperti itu.
bisa tekor juga ya. ckckckckckck....

sudah dalam keadaan bersedih, malah diberatkan biaya2 begini.

yanz said...

Semua kejadian ada hikmah dari ALLAH. Jom kongsikan di yanz-family.blogspot.com