Pertanyaan besar setelah 1998 adalah kemana lagi arah gerakan mahasiswa?
Setelah itu satu persatu pentolannya duduk di MPR atau menjadi centeng pengusaha kaya, sebagian mencari nafkah di kampus, sebagian berbatik dan masih rajin kongkow di TIM, lagi yang lainnya jadi jurnalis.
Gue sendiri bukan pejuang 1998, sama sekali bukan. Ketika 1998, gue cuma bisa berantem sama papi di rumah. Dikurung 24 jam tanpa boleh ke kampus, mengganggu keamanan nasional kata papi yang waktu itu di masa akhir sebelum pensiun dari kepolisian. Terlebih gue dikurung karena mengganggu kestabilan keluarga, bikin papi pusing ga konsen jagain negara katanya. Gue cuma bisa ngedumel sambil nonton maraknya perjuangan temen-temen gue di gedung MPR. Gue ngiri setengah mati kepada kalian disana.
Gue bukan pejuang ketika jeblos di MS3 sebagai penyiar dan produser dengan idealisme radio mengawal demokrasi. Modal demokrasi gue cuma dari buku dan teori, selebihnya katanya si anu, narasumber anu. Gue cuma bicara sama mereka di ruang 4x6 ruang studio, mendengar ocehan mereka tentang negara, data mukhtahir dosa pemerintah kepada rakyatnya, dan curahan hati rakyat pada negara. Negara yang sejak 1998 bergelar demokrasi tanpa bisa mengerti demokrasi seperti apa kecuali kebebasan berbicara, yang amat sangat bikin gue salut.
Ketika kemarin memimpin diskusi dengan segerombolan Mahasiswa yang diawali dengan nyanyian bersama Indonesia Raya dan ditutup dengan Padamu Negeri, gue makin merasa terasing dengan semua perjuangan yang mengatasnamakan rakyat. Tentu saja tak cukup membangkitkan nasionalisme dengan dua nyanyian bersejarah itu. Tak cukup berjuang cuma dengan diskusi. Ah terlebih dalam diskusi itu membuat gue jauh dari nyata. Mereka berbicara tentang Antek Imperialisme, Kapitalisme dan Sosialisme Indonesia. Mereka bermimpi bernegara tanpa pajak...
Bangunkan gue kawan. Lama benar rasanya gue tak mendengar kata-kata itu, atau hmmm mimpi itu. Gue telah lama meninggalkan kampus yang cuma bisa bicara teori. Aduh kawan, maaf saja gue bukan lagi mahasiswa yang bisa diajak bicara seperti itu. Yang gue tahu, kita bayar pajak, tanpa tahu transparansi penggunaanya. Yang gue tahu ada banyak penguasa merangkap pengusaha yang menggeroti hak rakyat dengan korupsi. Yang gue tahu hidup itu mahal sementara penghasilan tak mengejar.
Ah kadang gue merasa beruntung cuma menjadi orang awam yang kebetulan pernah duduk dibangku sekolahan. Beruntung teori itu tak begitu mengelotok di kepala gue, cukup tahu, sementara mempraktekan? apa memang sesuai sama rakyat awam seperti gue yang ga cukup mengerti kenapa harus menolak kapitalisme dan kenapa harus menerapkan sosialisme? atau sebaliknya.
Beruntung gue berada di ruangan 4x6 yang membuat gue dekat dengan orang-orang kecil, mendengar curhatan mereka tentang negara, tentang bangsa dan sedikit bermimpi untuk menjadi baik. Mereka dan gue tak ingin bermuluk mimpi dengan banyak teori. Dimata anda, jelas kami bukan pejuang, Fighters Fight right.... kami permisi dari ruang ring kalau gitu :P
No comments:
Post a Comment