Aku pernah menunggumu di cafe itu dengan cemas.
Akan tampil seperti apakah kamu di pertemuan pertama kita tanpa embel-embel "kerja"?
Apakah aku berbusana layak malam ini? Apakah kita akan lebih jauh melangkah daripada sekedar canda tawa sebagai kawan? Apakah aku akan tertarik padamu dan kamu padaku?
Aku berharap tidak, karena kita berdua tertaut waktu yang tidak akan membuatnya menyempit kecuali keajaiban terjadi, kecuali kita berusaha. Sementara aku dan kamu terlalu sibuk untuk berjuang soal hati. Kita hanya tahu ada hal lain yang lebih penting daripada rasa ini.
Lalu aku kembali ke meja yang sama, di bangku yang pernah kamu duduki. Rasa hangatnya menjalar dari bokong sampai ke hati lalu mengalir di sudut mata. Aku merindukanmu.
Sudut bibirku menyungging melihat bayanganmu tertawa padaku, menatap matamu yang berbinar saban kali bicara. Aku menciumi baumu yang menempel di hidungku dan enggan ikut angin berlalu.
Aku mendengar suaramu berbicara padaku, dekat sekali di telinga. Aku memutar ulang mimik wajahmu di setiap intonasi kata, jemarimu yang melayang-layang mengikuti kalimat. Aku degar tawamu, dekat sekali. Aku bahkan merasakan napasmu yang hangat menyentuh pipiku.
Aku tersenyum dan beranjak pergi.
Kamu hantu dan kita telah bertemu, kata-kata tetap tersimpan dalam diam tanpa pernah terucap. Aku dan kamu hanya tahu tentang rasa....
No comments:
Post a Comment