Semut-semut hitam kecil itu membangun rumah di dalam sol
sepatu karetnya yang entah berapa tahun tak terbasuh air dan sabun. Lubang mereka
tak cuma satu, bahkan lima di setiap sisi sol sepatu setebal lima sentimeter
itu.
Semut itu menemaninya terbang dari satu daerah ke daerah
berikutnya, melintasi gunung dan laut. Semut itu pasti lelah berada di kakinya
yang tidak pernah berhenti melangkah tegap menyeberang parit, menjejak di pasir
dan batu bahkan terendam di sumber air panas. Sebagian besar semutnya mati,
tapi selalu muncul generasi baru entah datang dari daerah mana yang betah
menetap dalam lubang di sol karet sepatunya.
Dia menundukkan kepala, mengamati lubang semut dan menjelajah
jemarinya menghitung jumlah lubang lalu tersenyum. Kurasa dia menganggap
semut-semut itu bagian dari dirinya, bagian dari perjalanannya menikmati hidup
sebagai petualang.
Semut itu punya rumah di sol karetnya dan aku menatapi
mukanya yang terus tertunduk menatapi semut yang keluar masuk dengan penuh cinta. Harusnya
bukan semut yang punya rumah di dirimu, harusnya aku.
Dia mengangkat kepalanya menatapku lalu tertawa,” ha ha ha harusnya
kamu yang ikut aku kemana pun, bukan semut-semut ini.”
No comments:
Post a Comment