Siang di Kampung Duri-Kompas, 23/09/2003
Saya, Andika, Wulan, dan Mirna, pada sebuah siang di awal bulan September, pergi menuju Kampung Duri yang terletak di wilayah Jakarta Barat.
Andika dan Wulan, adalah dua relawan dari Kios Informasi Kesehatan (sering cuma disebut Kios saja) yang mengadakan pelayanan berupa penjangkauan dan pendampingan untuk para pencandu narkoba maupun mereka yang telah terinveksi virus HIV Aids.
Adapun Mirna...hmmm, saya suka menyebutnya dengan "si Lucu". Dia lah salah seorang sahabat saya, yang siang itu "meracuni" saya dengan wacana baru yang menyakitkan sekaligus menyedihkan. Sebuah wacana tentang sisi lain dari kehidupan ibukota.
Oleh sebab Mirna itulah, saya jadi mengenal Andika dan Wulan yang dulu pencandu tapi sekarang menjadi relawan untuk melayani para junkie agar hidup lebih sehat.
Sambil menembus jalanan kota Jakarta yang macet dengan berkendara mobil, saya terus bertanya kepada Andika, kapan saatnya jalan lurus, kapan saatnya berbelok, jika menemui perempatan jalan.
Tapi siang itu, Andika benar-benar menjadi seorang navigator yang payah. Karenanya, saya harus menerima kekesalan pengendara lain di belakang kami yang jalannya saya serobot lantaran Andika secara mendadak menyuruh saya agar berbelok kiri.
Mendadak saya ingat perkataan teman saya, Simon, seorang fotografer di sebuah tabloid. Katanya, nyali seorang pendatang seperti saya baru teruji jika sudah berkendara di jalanan kota Jakarta yang sumpek dan semrawut.
Saya tahu, pendapatnya itu ngawur. Tapi jujur saya katakan, ada rasa plong ketika saya berhasil melewati sengkarut kendaraan di perempatan itu, meski sesudahnya berpuluh-puluh kali saya mendengan suara klakson yang memekakkan telinga.
Diiin! Diiin! Treeeet...!
Lepas dari jalan lebar yang mampu menampung empat mobil, selanjutnya kami masuk ke sebuah jalan sempit yang mengharuskan pengendara mobil berhati-hati jika berpapasan dengan mobil lain agar tak saling berserempetan.
Memasuki jalan sempit yang diapit oleh selokan dengan airnya yang aneka warna oleh limbah kimia, saya mulai merasakan gambaran hitam dari kota Jakarta.
Di sini, di jalan menuju Kampung Duri, wajah Jakarta benar-benar kusam. Selain air got yang berwarna-warni dengan aroma yang tak sedap, rumah-rumah di Kampung Duri pun berhimpitan tanpa ventilasi yang sempurna.
Udara di penghujung musim kemarau tahun ini pun kian menekan perasaan dengan sengatannya yang terrasa membakar kulit.
Setelah memarkir mobil, Wulan kemudian gantian jadi komandan. Ia memimpin kami memasuki gang senggol menuju rumah Jono, salah seorang dampingan Wulan yang telah terjangkit virus HIV Aids.
Kami terus berendeng memasuki gang tanpa sinar matahari. Sebuah gang dengan rumah-rumah yang saling berhimpitan yang menghalangi sinar surya mengelus lembut kulit penghuni gang tersebut.
Saya membatin. Siapakah mereka yang mukim di gang pengap ini? Dari mana mereka berasal. Apa cita-cita mereka ketika masih kecil, sehingga mereka nyangkut di tempat serupa ini?
Pertanyaan-pertanyaan saya itu mendadak buyar oleh jerit tangis anak kecil yang menyeruak dari sebuah rumah. Lalu berturut-turut, pemandangan asing pun saya jumpai.
Setelah melewati dua tikungan, kami berjalan lurus, sebelum akhirnya kami sampai di jalan buntu, tempat Jono (bukan nama sebenarnya) dan ibunya yang telah tua, mukim.
Ketika kami berjumpa dengan Jono di ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur, serombongan anak muda dengan mulut-mulut yang kacau bunyinya, mendadak muncul entah dari mana.
Tapi rupanya mereka segera mafhum dengan kedatangan kami. Maklumlah, karena bersama kami ada Wulan dan Andika yang rupanya telah mereka kenal.
Wulan, si mantan pencandu putaw yang pernah melewati hidup nan amburadul tiga tahun lalu, di mata saya siang itu berubah menjadi seorang peri yang baik hati. Secara sabar ia meminta kepada Jono untuk menghabiskan obat yang diberikan dokter untuk setidaknya memperpanjang umurnya.
Diberikannya kepada Jono, zortrim (toxo, untuk mencegah penyebaran virus di otak dan mencegah jamur di paru karena Jono punya pneumonia)dan vitamin B yang berguna untuk menambah nafsu makan.
"Ini vitamin B, diminum tiga kali sehari. Ini zortrim, diminum dua kali sehari," kata Wulan lembut kepada Jono. Ibunda Jono yang juga sedang sakit, cuma memandang haru ke arah Wulan.
Setelah Wulan merayu Jono untuk meminum habis obat-obatan itu, perempuan tua itu pun turut bicara, "Kamu beruntung, masih ada Mbak ini yang perhatian sama kamu. Dengerin itu, dihabisin obatnya biar cepet sembuh."
Di luar dugaan saya, Jono menyahuti perkataan bundanya. "Ah, kalau saya sih tinggal mesenin kain kafan saja."
Saya yang sebelumnya sudah tahu dari Wulan tentang penyakit yang diderita Jono, tak kaget dengan pernyataan Jono. Sementara ibundanya, ia pun menanggapi biasa-biasa saja. Oleh kepahitan hidup yang menelikungnya barangkali, telah membuat perempuan tua itu kebal terhadap kengerian sebuah kematian.
Jono memang positif terkena Aids. Pada pemeriksaan terakhir, CD4 (jumlah sel darah putih dalam darah) Jono memang amat rendah, yakni di bawah 50. Seharusnya Jono sudah menggunakan pengobatan ARV (Anti Retro Viral), obat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Namun karena mahalnya obat yang harganya berkisar Rp500-750 ribu, maka
Jono yang tak sanggup membeli obat itu pun menjadi putus asa.
Padahal, menurut Wulan, Jono amat membutuhkan CD4 itu. "Jika tidak mengkonsumsi obat tersebut, akan makin memperburuk kondisi Jono. Akan muncul inveksi oportunistik dan membuat kondisi parunya semakin jelek," ujar Wulan setelah pamit dari rumah Jono.
Dalam perjalanan pulang Wulan sempat cerita, betapa Jono sempat sedih ketika tahu CD4 di tubuhnya rendah. "Dia kira akan segera mati. Padahal, apabila dia mampu beli obat itu, obat tersebut akan membantu kekebalan tubuhnya dan memperpanjang hidupnya," ucap Wulan.
Setelah mengantar Andika ke Kios, saya, Wulan dan Mirna melanjutkan perjalanan mengarungi Jakarta. Kami sempat singgah ke kedai es krim Ragusa di Jalan Veteran. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Galeri Nasional untuk melihat pameran seni rupa tingkat internasional, sebelum akhirnya kami terdampar di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan, hingga larut malam.
Pada tiap persinggahan itu, di Ragusa memang ada banana split, di Galeri Nasional memang ada karya-karya adiluhung, di Wapres ada ayam bakar yang dagingnya amat lembut, di sebelah saya ada Mirna yang manis, tapi tetap saja bayangan wajah Jono dan ibundanya yang terus melintas di depan mata saya.
Ah, entah kepahitan hidup macam apa lagi yang bakal singgah di hati ibunda Jono. Bayangkanlah, kini Jono sakit parah. Sementara adik Jono--karena kasus narkoba--kini sedang mendekam di penjara. Akankah Ibu Jono yang kena stroke itu merana sendiri, sabab setelah suaminya tiada, ajal tak lama lagi juga bakal menjemput Jono.
Sementara Jono..., saya melihat bayang-bayang kematian bersemayam di matanya. Tak ada lagi di sana nyala api kehidupan. Jika membayangkan bunyi batuknya yang keluar dari paru-paru yang cuma dibalut kulit dan tulang, ulu hati saya turut nyeri dibuatnya.
Uhuk! Uhuk!
Ketika saya tinggal sendiri di mobil dalam perjalanan menuju rumah, bayangan Jono terus mengikuti saya. Tapi ia tak sendiri. Di belakangnya ada berpuluh, beratus, beribu, bahkan berjuta-juta wajah serupa Jono. Wajah-wajah usia belasan yang pucat tanpa pengharapan. Mereka muncul dari berbagai sudut kota Jakarta. Sebagian muncul dari Kampung Duri, sebagian dari Kampung Bali, sebagian dari Jakarta Utara, dan sebagian lainnya muncul dari kampus-kampus.
Uhuk! Uhuk!
Kembali saya terkenang batuk Jono yang bikin nyeri ulu hati saya. Senyeri saya kah kini para orang tua yang memiliki anak macam Jono? Saya mendadak ingat seorang teman yang memiliki adik yang pecandu putaw macam Jono. Katanya, ia lebih baik memiliki saudara yang melakukan kejahatan lantas dihukum mati, daripada memiliki saudara yang pecandu narkoba. Setelah dihukum mati, habis perkara. Tapi kalau pecandu, sebelum mati mereka adalah kriminal yang memalukan keluarga. "Ketika sakaw (ketagihan putaw), mereka bisa berbuat apa saja, termasuk nyopet dan menguras barang di rumah mereka sendiri," kata teman saya.
Uhuk! Uhuk!
Saya segera tersadar. Kiranya suara batuk itu datang dari paru-paru saya sendiri, yang sesak oleh asap rokok dan udara dini hari. Uhuk!
jodhi yudono kompas, 23/09/2003
No comments:
Post a Comment