Thursday, July 07, 2011

Kedai Buku Waktu part 2

The Coffee Man

Bukan dia yang pertama mengajakku pergi ke Bakoel Koffie Cikini. Aku sudah berkali-kali sebelumnya kesana dan tentu saja tak ada kesan sampai dia yang mengajaknya.

Dia bilang disini lah tempat kopi terenak di Jakarta. Ah cerita ini bukan pesanan Bakoel Koffie tapi begitulah menurut dia. Menu Vietnamese adalah kopi pertama yang dia pilihkan untukku, “cobain deh Mbar, ini enak banget kalau dingin.” Viola…. Iya setelahnya aku suka. Setelah itu terjadilah pengulangan untuk menu yang sama.

Nyaris saban minggu kami mengaburkan diri dari keriaan kantor, hingar bingar teman sejawat dan cuma berdua kemari. Bicara tentang banyak hal, soal hati, keluarga dan kerja. Bukan tentang kami berdua, tak ada kisah diantara kami. Meski dari kopi itulah awal kusuka padanya. Bicara tentang kopi, seperti membuka sebuah ensiklopedia kopi dari kepalanya. Dia bercerita tentang kopi luwak, kopi termahal di dunia dari kotoran si luwak. Dia jelaskan padaku tentang beda rasa dari kopi Jawa, Sumatra sampai Toraja, kopi Brasil, Arabica, Italia, semuanya.

Jangan minta aku untuk menjelaskan ulang. Sebab setelah kisah kami berakhir, ensiklopedia itu pergi, memori di kepalaku menolak bertahan. Aku tak menyimpannya dengan baik. Yang kusimpan dan tersisa adalah rasa kopi itu sendiri…. Hmmm…
Saat bersamanya lah untuk pertama kali pula aku berani mencoba Espresso, kopi murni, hitam pekat. “rasanya gimana sih?,”

“Ya coba aja. It won’t kill you for sure. Pahit tapi ga sepahit cinta Ambar hahahha.” Kata dia sambil menyodorkan sisa espresso dari cangkirnya. “Kalau lu suka, baru kita tambah yah. Jajal aja dulu.”

Sambil merem, seperti minum jamu pahit, aku pencet hidung. Dia cuma tertawa, “tak ada keharuman lebih nikmat di dunia selain bau kopi Ambar.”

Bener loh. Rasa espresso yang pahit itu berbanding lurus dengan rasa manis yang tertinggal di ujung lidah. Harum kopi itu tak ada bandingannya… menyejukkan hmmm…

Bersamanya aku pergi berburu kopi ke seluruh kafe di Jakarta, oh well nyaris seluruhnya. Seluruh cabang Bakoel Koffie, kami sambangi. Jangan lupa Tornado Kemang juga masuk list teratas dalam daftar tempat dengan kopi terbaik. Kalau salah satu diantara kami gundah tengah malam, password di sms cuma satu, “ngupi yuks.” Lalu kami tahu salah satu dari kami sedang butuh kopi sebelum menelurkan serangkaian cerita, segumpal gundah yang menyesakan dada. Oh iya satu lagi kenikmatan kopi baru terasa bila dilengkapi dengan music jazz…

Sayang kebersamaan kami tak lama, kopi dan kami sama sekali tak kekal. Secangkir espresso terakhir yang kami bagi di Bakoel Koffie waktu itu telah menutup segalanya. Di mobil untuk pertama kalinya dia mengeluhkan dadanya yang berdebar karena kebanyakan kafein, padahal menu kami ketika itu sama seperti biasanya, double espresso. Hari itu terakhir kami minum kopi bersama.

Ah padahal bersamanya kopi tak pernah terasa pahit.

No comments: