Thursday, July 07, 2011

Kedai Buku Waktu part 4

The Tea Man

“Kalau tehnya panas begini, bagaimana minumnya?” kata dia
“Kalau mencret ya harus minum teh pahit yang panas ini,” kataku
Bukannya diminum dia malah balik ke ranjang dan menarik selimut menutup mukanya, “kamu saja yang minum.”

Tahu tea addict? Lagilagi bukan iklan, aku tidak dibayar untuk menceritakan tempat ini. Kafe yang hanya menyajikan aneka rupa teh dari seluruh dunia ini pernah menjadi tempat romantis bagi kami.

Tinggal dua minggu sebelum dia kembali ke Belanda untuk menyelesaikan kuliahnya. Akhir pekan itu kami habiskan keliling Cirebon lalu Bandung dengan modal Lonely Planet Indonesia yang tebalnya minta ampun. Setiap menit adalah berharga karena kami sadar tak banyak waktu tersisa untuk berdua.

“Jangan tidur, karena besok mungkin kita tak lagi bersama” dia selalu bilang begitu meski akhirnya salah satu kita terlelap didekapan.

Kami terlelap di stasiun kereta api, kami terlelap di terminal bus. Bukan hotel mewah karena tak diniatkan untuk tidur apalagi bercinta. Dia terus bercerita tentang dirinya, mimpinya meraih hadiah nobel untuk ilmu fisika yang digelutinya, tentang keinginannya belajar tentang Islam dan Indonesia lebih banyak, tentang cintanya padaku.

Saban kali aku terbangun, dia menatapku lembut, “aku suka melihatmu tertidur,” lalu kecupan lembut mendarat di kening dan kembali aku didekapnya.

Aku hapal betul bau badannya, rasa bibirnya, tatapan matanya, senyumnya, ikal rambut yang menyesatkan jemari, genggaman tangan hangat yang tak pernah lepas, detak jantungnya, suaranya saat bicara, tertawa bahkan marah. Kenangan tentangnya tak pernah hadir separuh, dia utuh dan selalu mampu merontokkan bendungan air mata kerinduanku.

MP3 player dengan separuh suara mengalun di telinga kiriku dan separuh lain di telinga kanannya, aku terlelap di bahunya ketika dia berbisik, “dimana bisa minum teh enak?” voila… yang terlintas cuma tea addict Senopati. Disanalah percakapan tentang citacita dan cinta dilanjutkan sampai malam larut.

“Perutku panas kemarin, diberi sesuatu oleh ibu di kedai,” katanya sambil mengelus perut tipisnya.
“Aha itu balsem namanya sayang, the heat cream. Hayo sekarang pilih pake krim panas lagi atau minum teh.”

Dia tengkurap dan membenamkan muka di bantal.

Sekarang aku menikmati teh panas ini sendirian tanpamu dan selalu ingin tidur cepat, cuma dalam mimpi aku bisa bersamamu lagi. Saban kali terbangun berharap dirimu menatapku dengan lembut, “aku suka melihatmu tertidur.”
**

“Kalau waktuku habis di meja operasi, aku cuma ingin kamu tahu bahwa cinta itu kamu.” Sms terkirim
“Bodoh. Ga usah pikir hal lain. Kamu harus sembuh dulu. Kabari aku begitu kamu sadar yah.” Sms kuterima.

Tiga tahun lalu. Sejak dia tahu aku selamat dari operasi itu, dia tak lagi mengontakku. Apa cintaku begitu menakutkan baginya? Dia menghilang meski masih kutemui wajahnya di Facebook. Dia tidak menghilangkanku dari daftar temannya. Syal yang pernah kuberikan dulu masih terlihat menggantung di lehernya. Tentu aku melihatnya dari waktu yang terhenti di sebuah foto, di Facebook. Aku tahu badannya membesar, kekasih barunya bahkan foto keluarganya yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Kalau kutahu kamu akan berhenti menghubungiku mungkin harusnya waktu itu dicabut dariku tiga tahun lalu.

Aku membuka mataku dan melihatnya disana, “aku suka melihatmu tertidur”
Kurasa aku bermimpi. “Hey ini aku. Bangun Mbar, jangan tidur karena mungkin waktu kita tak banyak.”

Aku sungguh bermimpi. “Kalau kamu tahu waktu kita tak banyak, kenapa datang lagi. Sekali kamu datang yang kuinginkan adalah kita untuk selamanya.”

“Hey Man. Bangun dung. Masa gue udah jauh-jauh kemari malah lu tinggal tidur. Gue janji kalau lu sehat, kita jalan-jalan lagi. Gue ajarin lu diving tsaah, kita ke Derawan atau ke Raja Ampat seperti yang lu selalu pingin.”

Ah aku tahu si choco man ada disini. Dia selalu bisa membuatku tersenyum

Ini semua pasti mimpi. Aku selalu ingin bila waktuku tiba, mereka ada disini. Orang-orang yang kenangannya denganku tersimpan rapi di Kedai Buku Waktu. Kalau sampai mereka semua ada disini sekarang, saat ini, apa berarti waktuku hampir habis?
Dan aku bahagia.
****

No comments: