The Choco Man
Lupa kapan terakhir minum kopi tanpa tersiksa lambung dan dia dengan bangga menunjukkan botol minumnya yang selalu berisi milo panas. “sorry man, kalau gue emang ga bisa minum kopi. Cukup coklat panas, jangan lupa milo 3 in 1 biar ga perlu lu cari susu dan tambah gula lagi.”
Barangkali sejak dekat dengannya aku mulai perlahan meninggalkan kopi yang tahunan sudah menemani saat sedih dan senang. Peralihan kebiasaan itu beriringan dengan munculnya rasa coklat manis di hati padanya.
Sekilas menatapnya yang begajulan tanpa bisa diam barang sebentar, coklat tak cocok untuknya. Mendengarnya bicara mulai soal A sampai Z yang selalu bisa dia bahas dengan cerdas, biasanya dilakukan lelaki lain dalam pengaruh alcohol. Tapi dia tidak…
Coklat panas di botol minumannya digoyang. “Sial habis pula. Perjalanan masih jauh neh man.”
“Baiklah kemarikan botolmu aku isi ulang milo di ruanganku, sepertinya ada,” kataku
Tak pernah gampang mengajak dia keluar kandang dari kelompok permainannya untuk bisa barang sejam dua jam berbagi cerita denganku. Mungkin itu caranya menghindariku. Kalau aku tak bisa membuatnya nyaman dan betah, barangkali si milo bisa.
“Coklat panas!” Pintaku pada barista yang seharusnya meracik kopi… kopi yang pernah kucinta itu.
“Sejak kapan minum coklat?,” kata seorang teman
Sejak lambungku berontak dan seorang lelaki berotak menyerang isi kepala dan hatiku. Sejak si rambut berantakan dengan botol milo itu menemani mimpiku. Si coklat milo yang tak pernah mengerti isi hatiku, tak membaca tubuhku yang menggeliat minta diperhatikan, si coklat yang kucluk itu tetap memanggilku dengan kata “man” ah barangkali aku tak pernah tampak seperti perempuan di matanya.
No comments:
Post a Comment