Friday, January 30, 2009

Sidang susila dan Snow

Friday, January 16, 2009 at 9:01am on Facebook

Petugas Kepala Polisi moral bersama keenam anggotanya melakukan razia. “ini adalah darurat moral. Anda semua disini sudah melanggar jam malam moral. Apapun yang berkaitan dengan pornografi, benda-benda mesum, tembak ditempat.” Begitu bergema suara peringatan dari Petugas Kepala.

Lalu keenam polisi itu bergerak ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang, menodongkan senjata dengan penanda laser. Menembaki apa saja yang ditemui, celana dalam bahkan sabun yang bisa digunakan untuk swalayan.

Ketika penanda merah itu mengenai baju saya, tiba-tiba pikiran saya terpelanting ke sebuah cerita yang disampaikan dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Saya merasa seperti Necip yang mati tertembak dalam sebuah revolusi di atas panggung.

Adegan razia oleh kepolisian moral dalam pertunjukan Sidang Susila oleh Teater Gandrik di Salihara malam tadi, mengingatkan saya pada pertunjukan sandiwara ”Tanah Airku atau Jilbabku” dalam Snow. Adegan tembak menembak muncul di bab 18 ”Jangan tembak, senapan itu berisi peluru!” sebuah revolusi di atas panggung. Tokoh kepala kepolisian moral yang diperankan Djaduk Ferianto mengingatkan saya pada tokoh Sunay Zaim, pemimpin teater dalam Snow yang digambarkan memiliki karisma sebagai pemimpin.

Dalam cerita tersebut, Sunay berdiri ditengah panggung dan tiga orang bersenjata di pinggir panggung. Dia berkata ” Oh, penduduk Turki yang terhormat dan baik hati. Kalian semua sedang melangkah di jalan pencerahan, dan tidak seorang pun akan dapat mengalihkan kalian dari perjalanan hebat dan penuh makna ini. Jangan takut. Para reaksioner ini ingin kembali ke masa lalu, para binatang buas dengan pikiran berselimut sawang itu, tidak akan pernah bisa keluar dari liang mereka. Orang-orang yang mencoba-coba bermain-main dengan republik, dengan kemerdekaan dengan pencerahan akan mendapati kehancurannya sendiri.”

Lalu Necip diantara penonton berdiri dan berteriak, ”Terkutuklah para sekularis kafir! Terkutuklah para fasis ateis!”

Ledakan senjata terdengar. Remaja itu jatuh dari kursinya, kedua tangan dan kakinya berguncang hebat. Sebutir peluru menembus keningnya dan sebutir lagi menghancurkan matanya.

Saya tersontak kembali ke teater Salihara. Saya tidak mati seperti Necip. Tak ada peluru benaran di senjata para polisi moral dalam pertunjukan Sidang Susila ini. Keseluruhan cerita yang ditampilkan dalam pertunjukan ini adalah gambaran dari apa yang terjadi di negeri ini.

Dua pertunjukan itu, Sunay dan Djaduk sebagai Kepala Polisi Moral menampilkan kegelisahan negara terhadap pergerakan masyarakatnya dalam cerita yang berbeda. Sunay gerah dengan pergerakan Islam radikal yang bisa mengancam sekularisme Turki. Sementara Petugas Kepala Polisi Moral yang diperankan Djaduk mewakili negara yang sudah dibayar kepentingan kelompok tertentu. Memaksakan negara kembali pada moralitas yang tak mewakili keberagaman, lalu melupakan kemerdekaan berpikir.

Silakan datang dan saksikan sendiri Sidang Susila, saya jamin anda tak akan bisa duduk manis disana. Saya sama sekali bukan pengamat seni. Saya cuma penikmat yang dibuat mereka tertawa terbahak-bahak sekaligus miris saat menyimak kebodohan yang terjadi di negara ini. Hari gene kok ya sibuknya mengejar Susila.

No comments: